Novena Kanak-Kanak Yesus

Keajaiban Doa Novena Kanak Kanak Yesus dan Doa Mujizat

Keajaiban Doa Novena Kanak Kanak Yesus dan Doa Mujizat Mari kita bersama mendoakan Novena Kanak Kanak Yesus dalam menyambut kelahir...

Kamis, 30 Oktober 2014

Session 2: Praying The Truth. Deepening Your Friendship with God through Honest Prayer

Session 2: Praying The Truth. Deepening Your Friendship with God through Honest Prayer

By: William A. Barry, SJ,  

2. Doa dan Persahabatan
(lanjutan)

Seni Mendengarkan

Tidaklah mudah untuk saling mendengarkan. Ketika orang lain mulai berbicara, kita mulai berpikir bagaimana kita akan menanggapi. Bagi banyak orang di antara kita, percakapan lebih-lebih dimaksudkan untuk menjaga agar pembicaraan tidak berhenti, bukan sungguh-sungguh menaruh perhatian pada pikiran dan hati dari orang yang sedang berbicara. Jika saya memasuki percakapan dengan gagasan bahwa saya harus melaksanakan tugas saya agar percapakan tetap berlangsung, maka saya mungkin menggunakan paling sedikit separuh hati dan pikiran saya untuk berusaha agar percakapan selanjutnya tetap berjalan. Akibatnya saya tidak mendengarkan dengan baik.

Terlalu terserap pada urusan pribadi juga membuat kita tidak dapat mendengarkan dengan baik. Misalnya, saat seorang teman mulai berbicara tentang punggugnya yang sakit, saya mulai berpikir tentang punggung saya sendiri dan mengatakan kepadanya: “Saya tahu bagaimana rasanya” dan saya mulai berbicara tentang punggung saya yang sakit. Atau saya menceritakan kepadanya apa yang membantu saya atau kenalan mengurangi rasa sakit dan menasihatinya untuk melakukan hal serupa. Dia sendiri mungkin tidak memperoleh kesempatan untuk menceritakan bagaimana penyakit ini telah mengubah hidupnya dan perasaannya.

Kadang-kadang seorang sahabat mulai bercerita kepada saya tentang kepedihan dan kesedihan yang mendalam, yang mengingatkan saya akan perasaan tidak diterima atau perasaan yang kadang-kadang muncul bahwa tidak ada cahaya di ujung terowongan. Saya ingin sekali keluar dari topik macam itu secepat mungkin. Karena itu saya mencoba menguatkan sahabat saya, mengatakan kepadanya bahwa perasaan macam itu pasti akan segera lewat. Maka, saya menghalangi sahabat saya untuk menceritakan seluruh kebenaran tentang dirinya. Mungkin dia hanya ingin didengarkan.
Seni untuk mendengarkan itu tidak mudah dipelajari, juga bagi mereka yang pekerjaannya menuntut hal itu. Belajar mendengarkan itu sulit bagi saya saat saya masih sebagai seorang psikolog pemula dan kemudian mulai menjadi pembimbing rohani. Dalam kedua kasus ini saya sering terlalu menaruh perhatian pada bagaimana saya menanggapi orang lain daripada mendengarkan dengan baik. Akibatnya saya tidak menangkap pengaruh emosional yang lebih dalam dari apa yang sedang diceritakan oleh seseorang kepada saya. Kita begitu ingin membantu sehingga kita tidak mampu mendengarkan dengan baik. Yang membantu saya sebagai seorang psikolog maupun pembimbing rohani adalah supervisi. Saya menemukan bagaimana kecemasan diri saya sendiri terungkap dan pelan-pelan saya disapih dari kebutuhan untuk memiliki tanggapan yang tepat. Suatu ketika saya mendapati diri sungguh mendengarkan orang lain, terserap, bahkan merasa terhormat, atas apa yang sedang dikomunikasikan dan merasa dipercaya oleh orang lain, dan kemudian mampu mengkomunikasikan bahwa kami sambung dan segelombang satu sama lain. Saya melakukan hal ini tanpa harus berjuang keras. Setelah itu saya mampu, secara umum, melepaskan keinginan saya untuk menjawab atau mencari bahan untuk menjaga agar percakapan tetap berlangsung. Namun demikian, kebutuhan untuk selalu memecahkan masalah sulit untuk dihilangkan. Hingga hari ini saya saya merasa tidak enak jika seseorang meninggalkan sesi bimbingan rohani tanpa solusi atas persoalannya yang berat. Di manakah saya telah gagal? selalu menghantui pikiran saya.

Budaya kita tampaknya yakin bahwa setiap persoalan dapat dipecahkan dengan sedikit kercerdikan dan niat baik. Maka jika seseorang menyampaikan persoalannya kepada kita, kita mungkin merasa bahwa kita belum melaksankan tugas jika hanya mendengarkan orang itu dengan belarasa. Saya telah percaya bahwa sekadar mendengarkan dengan empati dan seperasaan adalah kapasitas yang lebih dibutuhkan dalam dunia ini, suatu yang persediaanya sangat sedikit dibanding memenuhi kebutuhan yang ada.  Bahkan, saya telah sampai pada keyakinan bahwa kapasitas inilah kekuatan terbesar Allah dan sesuatu yang Allah inginkan agar kita tiru demi kesejahteraan dunia. Allah bukan seperti yang sering kita pahami; dia bukan solusi setiap persoalan, bukan seorang Mr Fixit. Janji yang Allah berikan kepada kita tidak lebih dari sekadar menjadi sahabat, dan dalam hari-hari baik saya hal ini cukup bagi saya.

Mendengarkan Allah

Jika kita mempunyai persoalan dalam mendengarkan orang lain, kita pun akan mendapat soal dalam mendengarkan Allah. Pertama-tama, menurut Yesus, cinta Allah nampak dalam cinta kita kepada sesama. Dan mendengarkan sesama tanpa mencari kepentingan untuk diri sendiri adalah salah satu tanda bahwa kita sungguh mencintai sesama itu. Maka jika kita tidak dapat melakukan hal ini kepada sesama kita, kita tidak dapat melakukannya kepada Allah. Saya telah menemukan bahwa belajar untuk mendengarkan orang lain dengan baik sama dengan belajar mendengarkan Allah dengan baik.

Lewat buku ini engkau akan menemukan contoh bagaimana Allah telah berkomunikasi dengan saya dan orang lain. Dalam setiap kasus mereka yang telah “mendengar” Allah berkomunikasi, paling tidak pada saat itu, telah mampu hadir pada saat sekarang dan melupakan urusan mereka sendiri. Misalnya, seorang pria yang menulis kepada saya bahwa dia akan “berjalan dan bercakap-cakap dengan Allah, menceritakan kepada Allah betapa sulit untuk menjadi tenang setelah kematian ayah saya, dan dia menemukan penghiburan yang datang hampir tiba-tiba.” Dalam kehadiran itu dia menceritakan kepada Allah apa yang dia rasakan dan mengalami penyembuhan. Seorang perempuan yang berada di kapel rumah sakit menjalani hari yang berat, seperti halnya para dokter dan perawat dalam unitnya, karena kematian lima orang pasien muda. Dia dipanggil datang ke unitnya untuk membantu para staf berbicara tentang derita yang baru saja mereka alami. Dia merasa terbeban dan marah. Saat dia berjalan menuju unitnya, dia mulai berteriak kepada Allah, mengatakan kepada-Nya betapa dia marah dan bahwa setiap orang menuntut terlalu banyak darinya. Saat dia masuk ke unitnya, salah satu perawat mengatakan, “Ini dia D, hembusan udara segar.” Ia baru saja membaca artikel yang membandingkan belarasa dengan oksigen. Ia merasa dilingkupi oleh kehadiran Allah dan sangat bersyukur bahwa Allah memberikan kesempatan kepadanya menjadi perwujudan bela rasa bagi staf. Perempuan ini hadir pada rasa sakit dan kemarahan dirinya dan menyampaikan kepada Allah tentang hal itu dan segera saja merasakan tanggapan Allah melalui komentar seorang perawat ketika melihatnya.

Seorang pastor muda bercerita kepada saya bahwa suatu ketika dia berada di kapel dan merasakan cinta yang kuat kepada Allah dan mengatakan kepada Allah, “Saya mencitai-Mu.” Dan langsung saja dia merasa bahwa Allah berkata, “Aku mencintaimu juga.” Dalam peristiwa itu ia merasa dipenuhi dengan suka cita, syukur dan perasaan damai. Meski demikian, tiba-tiba sebuah gagasan muncul, Bagaimana aku tahu bahwa yang berbicara adalah Allah? Bisa saja aku bercanda dengan diriku sendiri. Ketika ia pertama kali mengatakan kepada saya bahwa ia mendengar tanggapan Allah, ia hanya mengingat kembali bahwa ia merasa takut dan bertanya-tanya heran. Namun ketika saya memintanya mengingat pengalaman itu, ia menyadari bahwa pertanyaan itu telah menggusur ingatan akan suka cita, syukur dan perasaan damai. Dalam peristiwa ia mengatakan kepada Allah: “Aku mencintai-Mu,”  ia sepenuhnya hadir dan karena itu mampu mengalami tanggapan Allah. Namun sekian per detik setelahnya, ia kehilangan rasa kehadiran dan mulai ragu akan apa yang baru saja terjadi, dan, tentu saja, ia kehilangan kontak dengan Allah.

Kita mendengarkan Allah, saya yakin, ketika kita ditangkap oleh realitas sekarang, dan tidak cemas akan masa lalu atau masa depan. Dalam realitas itu yang kita jumpai lebih dari sekadar apa yang hadir di hadapan mata kita; kita juga merasakan sebuah Kehadiran yang membuat jantung kita berdetak lebih cepat dan memberikan kita harapan dan keberanian. Dan rasa akan kehadiran Allah pada realitas saat ini dapat terjadi pada peristiwa yang aneh dan menakutkan. Ketika Julian of Norwich dan setiap orang merasa bahwa ia sedang sekarat, ia mendengar kata-kata ini: “Semua akan baik dan segala sesuatu akan baik – All shall be well and all manner of thing shall be well.”

Bagaimana aku tahu bahwa aku mendengar Allah?

“Bagaimana aku dapat yakin bahwa apa yang kudengar sungguh berasal dari Allah?” Itulah yang ditanyakan pastor muda tadi kepada saya. Saya pun mengajukan pertanyaan serupa tentang pengalaman doa saya. Berikut ini cara saya menyimpulkan. Setelah waktu doa itu, saya memeriksa apa yang telah terjadi. Saya menemukan bahwa selama waktu yang kemudian saya tulis sebagai tanggapan Allah, saya berfokus dan dengan mudah dapat mengingat lagi apa yang telah terjadi dan apa yang tampaknya Allah nyatakan. Saya lebih tertarik pada apa yang sedang terjadi. Saya merasa Allah dan saya sungguh saling hadir dan bahwa saya dibimbing menuju hubungan yang lebih mendalam dengan Allah. Dan apa yang saya “dengar” sungguh sesuai dengan apa yang telah saya ketahui tentang Allah dan diri saya. Peristiwa doa ini terasa seperti pengalaman membaca sebuah novel atau puisi atau bahkan sebuah buku tentang doa dan pemikiran. Semuanya begitu nyata. Selain itu, saya merasa bersemangat untuk kembali berdoa pada hari berikutnya.

Sebaliknya, saya mendapati bahwa ketika saya dikuasai oleh target, saya berbicara pada diri saya sendiri atau melakukan percakapan imajinatif dengan orang lain atau dengan pembaca, dan sulit bagi saya untuk mengingat apa yang baru saja terjadi beberapa detik atau menit sebelumnya. Saya juga tidak fokus, pikiran saya mengembara ke mana-mana, dan ketika saya sadar kembali, saya mendapati diri tidak berbicara dengan Allah atau mendengarkan Dia. Ini seperti yang saya rasakan ketika saya membaca novel yang membosankan, puisi yang buruk atau buku teoretis tentang doa; tidak nyambung dengan hidup saya. Dan saya tidak semangat untuk melanjutkan doa macam itu.

Karena pengalaman-pengalaman yang berbeda seperti itu, saya menyimpulkan bahwa bagian doa yang berakhir dengan tanda kutip berasal dari Allah, sisanya tidak. Berkat pengalaman-pengalaman macam itu saya mempunyai antena yang baik untuk mengetahui kapan doa sungguh nyata dan kapan tidak. Apakah hal ini dapat pahami?

Ketika saya membantu sang pastor muda untuk memutuskan apakah yang telah ia dengar berasal dari Allah, saya memberikan kriteria yang sama. Saya bertanya kepadanya apa yang akan terjadi jika ia meneruskan untuk menikmati pengalaman cinta Allah. Ia menyadari bahwa ia akan fokus pada Allah dan bukan pada diri sendiri atau pada pertanyaan-pertanyaan, dan bahwa ia akan memperoleh apa yang paling ia harapkan secara mendalam, yaitu kedekatan dengan Allah. Keraguan dan pertanyaan menyeretnya lebih jauh dari Allah, bukannya lebih dekat. Dan keraguan serta pertanyaan ini tidak butuh jawaban yang serius. Tujuan mereka satu-satunya adalah membuatnya tetap sibuk dengan diri sendiri dan terus ragu, sebuh tanda jelas yang oleh Ignatius dari Loyola disebut sebagai salah satu cara biasa yang dipakai oleh musuh kondrat manusia dalam melancarkan godaan, yaitu menawarkan pikiran-pikiran yang tampak baik (Latihan Rohani, no 10).

Allah menginginkan persahabatan dengan kita, dan persahabatan ini seperti persahabatan manusiawi, berkembang dari saling percaya dan kejujuran. Allah ingin menyatakan diri secara penuh kepada kita dan menginginkan hal sama dari kita. Kita memperdalam persahabatan kita dengan Allah dengan lebih membuka diri dan lebih jujur kepada-Nya dalam doa. Cita-cita yang diharapkan adalah transparan seluruhnya satu sama lain. Ignatius dari Loyola pada akhir Latihan Rohani mengungkapkan cita-cita ini dalam “Kontemplasi untuk Mendapatkan Cinta”:

Pendahuluan 1. Menimbulkan dalam ingatan anugerah-anugerah yang telah kuterima: penciptaan, penebusan, anugerah-anugerah pribadi. Menimbang-nimbang penuh cinta, betapa besar karya Tuhan buat diriku, betapa banyak dari milik-Nya diberikan padaku; lalu bagaimana Tuhan sampai ingin memberikan dirinya sendiri padaku, sedapat-dapatnya menurut rencana ilahi-Nya. Kemudian melakukan refleksi atas diriku dengan menimbang-nimbang apa yang menurut tuntutan budi dan keadilan harus kupersembahkan dan kuberikan kepada yang Mahaagung: segala milik dan diriku sendiri, seperti seorang yang memberikan persembahan dengan penuh cinta mengucap:

            Ambilah, Tuhan, dan terimalah seluruh kemerdekaanku, ingatanku, pikiranku dan segenap kehendakku, segala kepunyaan dan milikku. Engkaulah yang memberikan, pada-Mulah Tuhan kukembalikan. Semuanya milik-Mu, pergunakan sekehendak-Mu. Berilah aku cinta dan rahmat-Mu, cukup itu bagiku.”

Latihan Rohani, No 234

Doa di atas sangat menyentuh, bukan? Allah ingin berbagi segala sesuatu dengan kita tetapi tidak bisa, karena kita bukan Allah dan karena kita menolak pernyataan diri Allah. Dan Allah ingin kita membagikan seluruh diri kita, menjadi seluruhnya transparan dan berserah. Doa “Ambilah, Tuhan, dan terimalah …” mengungkapkan cita-cita ideal ini. Saya berharap bahwa kita dapat bersama-sama menuju cita-cita ideal sembari saya menulis buku ini dan sembari Anda menjalin persahabatan yang ke dalamnya Allah mengundang Anda untuk masuk.

Renungan Pengantar Doa:

5. Bercerita kepada Tuhan tentang Ketakutanmu

Sulit untuk mengakui, bahkan kepada teman, bahwa kita takut akan sesuatu. Hal ini mungkin lebih benar bagi pria dibanding wanita. Dan kalau hal ini benar bagimu, Bab ini mungkin akan membantu.
Ketika engkau bersama seorang teman dan dicekam oleh ketakutan, adakah hal lain yang ingin engkau bicarakan? Jika engkau tidak membicarakan apa yang paling menyerap pikiranmu – yakni ketakutan itu – engkau mungkin hanya punya sedikit bahan untuk dikatakan. Selain itu, engkau juga tidak akan sungguh menyimak apa yang sedang dikatakan oleh temanmu. Hal ini hanyalah salah satu bentuk lain bahwa kejujuran – atau kekurangjujuran – berpengaruh pada hubungan kita.
Jika engkau mengungkapkan ketakutanmu, ada peluang bahwa temanmu akan mendengarkan dan bersimpati. Saat hal itu terjadi, engkau akan merasakan perubahan besar: sekarang engkau tak merasa sendirian. Engkau lega telah berbicara dengan terus terang tentang ketakutan itu. Sering kali rasanya seperti beban telah diangkat – dan hal ini terjadi ketika kita jujur kepada orang lain tentang ketakutan kita! Inilah pengalaman saya – dan saya telah menyaksikan hal ini terjadi pada orang lain juga – bahwa membuka diri kepada Tuhan tentang ketakutan kita membua kita lega.

Kisah tentang Doa dalam Ketakutan

Engkau tidak pasti jarang membayangkan mendengar seorang raja yang perkasa mengungkapkan ketakutan. Namun dalam Mazmur 55 Raja Daud yang gagah mengungkapkan kepada Tuhan ketakutannya dengan rinci:

Perhatikanlah aku dan jawablah aku!
Aku mengembara dan menangis karena cemas, karena teriakan musuh, karena aniaya orang fasik;
sebab mereka menimpakan kemalangan kepadaku, dan dengan geramnya mereka memusuhi aku.
Hatiku gelisah, kengerian maut telah menimpa aku.
Aku dirundung takut dan gentar, perasaan seram meliputi aku.
Pikirku: "Sekiranya aku diberi sayap seperti merpati, aku akan terbang dan mencari tempat yang tenang,
bahkan aku akan lari jauh-jauh dan bermalam di padang gurun. Aku akan segera mencari tempat perlindungan terhadap angin ribut dan badai.” Mzm 55: 3-9

Daud cukup percaya kepada Tuhan sehingga dapat mengatakan bahwa ia ingin lari dan bersembunyi – dan sungguh akan melakukannya jika dapat. Kemudian ia berbicara lebih rinci tentang sumber beban dan ketakutannya. Ia berkata mampu menanggung cemooh musuh, tetapi yang membuatnya lebih takut sekarang adalah tipu daya seorang teman. Sering kali kita menemukan bahwa menceritakan suatu kebenaran atau sebagian kebenaran mengantar kita untuk lebih lanjut mengungkapkan kebenaran. Dan akhirnya Daud berkata:

"Serahkanlah kuatirmu kepada TUHAN, maka Ia akan memelihara engkau! Tidak untuk selama-lamanya dibiarkan-Nya orang benar itu goyah". Mzm 55: 23.

Sebagai hasil dari mencurahkan ketakutan dan beban, Daud tampaknya memperoleh ketenangan. Jika engkau penuh ketakutan, engkau dapat menjadikan Daud contoh dan menceritakan kepada Tuhan apa yang engkau takutkan dan menyampaikannya dengan rinci. Dengan melakukan itu, engkau mungkin mendapati diri lebih mampu untuk menatap ketakutanmu secara jujur dan lewat proses ini ketakutanmu itu berkurang.
Suatu ketika saya cukup cemas dan bahkan tidak tahu persis apa yang membuat saya cemas, dan saya tidak dapat tidur. Saya mencoba teknik biasa untuk menjadi tenang, namun tidak berhasil. Akhirnya saya terapkan nasihat yang saya berikan kepada orang lain dan mulai menceritakan kepada Tuhan apa yang saya rasakan. Segera menjadi jelas bahwa saya takut kehilangan seorang teman karena salah pengertian. Sementara saya terus bercakap-cakap dengan Tuhan, saya menyadari bahwa saya terlalu melebih-lebihkan situasinya. Kemudian kecemasan saya berkurang dan saya tertidur.

Pasa suatu kesempatan Yesus dan murid-muridnya, beberapa di antara mereka adalah nelayan musiman, berada di sebuah perahu di laut Galilea. Tiba-tiba badai menghantam:

Pada hari itu, waktu hari sudah petang, Yesus berkata kepada mereka: "Marilah kita bertolak ke seberang." Mereka meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak dan membawa Yesus beserta dengan mereka dalam perahu di mana Yesus telah duduk dan perahu-perahu lain juga menyertai Dia. Lalu mengamuklah taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air. Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam. Maka murid-murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: "Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?" Ia pun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: "Diam! Tenanglah!" Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali. Lalu Ia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?" Mereka menjadi sangat takut dan berkata seorang kepada yang lain: "Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?"
 Mrk 4: 35-41

Jika engkau sungguh ketakutan, ingatlah adegan itu. Engkau tidak sendirian. Pandanglah Yesus dan lihat apa yang akan terjadi.

Tanggapan Tuhan


Seorang teman saya bercerita kepada saya tetang perselisihan tajam antara dia dengan atasannya. perselisihan ini membuatnya ketakutan, dan membuatnya merasa kecil setelahnya. Ia mulai menceritakan kepada Yesus apa yang dirasakannya, dan setelah beberapa saat ia melihat sosok Yesus berdiri di belakang atasannya. Yesus mengatakan kepada teman saya bahwa ia dapat belajar sesuatu dari peristiwa ini. Setelah merenungkan perjumpaan dan pengalaman doa ini, ia belajar sesuatu tentang dirinya dan hal ini memberikan penghiburan baginya.

Pada kesempatan lain, pria yang sama dikuasai oleh ketakutan setelah pertemuan yang sangat berat dengan karyawannya. Pertemuan ini mengancam pekerjaan, kehidupan dan bahkan identitasnya. Ia merasa benar-benar sendirian dan tak berdaya. Ia pun mulai berdoa mohon bantuan lagi, dikuasai oleh perasaan gagal total. Saat berdoa, ia merasa bahwa ia merasa di dalam puting beliung. Segala sesuatu yang sangat ia jaga dan hargai dirampas darinya. Hal ini sangat mengerikan hingga akhirnya, dalam kegelapan dan kesendirian, ia merasakan seberkas cahaya dan merasakan berhadapan dengan Tuhan yang hadir, Tuhan yang tidak pernah meninggalkannya ketika segalanya telah musnah.

Kapan pun kita takut, kita dapat berpaling kepada Tuhan dengan penuh kepercayaan, menggambarkan dengan rinci apa yang menganggu kita. Ingatlah kata-kata Yesus, “Aku berkata kepadamu: Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan.” (Luk 11:9-10)

Takut akan Tuhan


Beberapa orang lebih takut pada Tuhan daripada terarik. Bagaimana mereka dapat maju dalam hubungan? Terlalu mudah untuk mengatakan, “Katakan kepada Tuhan bahwa engkau takut.” Engkau dapat berkata kepada seorang teman bahwa engkau takut kepadanya hanya jika engkau mempunyai kepercayaan bahwa ia tidak akan menyerangmu. Selain itu, mengatakan kepada seorang teman yang kamu takuti membuat engkau semakin mudah terluka. Maka, jika engkau takut kepada Tuhan, engkau mungkin perlu beberapa waktu untuk merenungkan suatu atau beberapa peristiwa ketika engkau percaya kepada Tuhan, ketika engkau merasa aman di hadapan Tuhan. Jika engkau dapat mengingat peristiwa macam itu, engkau kemudian dapat berkata kepada Tuhan bahwa engkau berharap masih punya kepercayaan macam itu, masih merasa amam. Dan kemudian engkau mungkin mampu bercerita kepada Tuhan mengapa engkau takut.

Suatu ketika di suatu universitas saya memberikan ceramah tentang  doa sebagai hubungan pribadi. Setelahnya seorang professor berkata, “Saya ingin mempunyai hubungan yang dekat dengan Tuhan, tetapi saya tahu ketika saya semakin dekat, Tuhan akan meminta sesuatu dari saya dan saya takut akan permintaan itu.” Saya menyahut, “Anda dapat mengatakan kepada Tuhan persis seperti yang baru  Anda katakan itu.” Ia berkata, “Dapatkah saya mengatakan hal itu kepada Tuhan?” Saya menjawab: “Ini adalah hubungan; maka Anda dalam mengatakan kepada Tuhan apa saja yang Anda rasakan.”

Engkau dapat berkata kepada Tuhan tentang apa pun yang membuat engkau takut kepada-Nya. Sebab engkau percaya bahwa Tuhan akan gembira karena engkau mengatakan kebenaran. Dalam Injil Markus pemuda kaya yang tidak melepaskan kekayaannya pergi dengan sedih. Tetapai ia sebenarnya dapat berkata kepada Yesus, “Saya tidak dapat melakukan itu. Dapatkan saya tetap pergi bersamamu?” Sungguh menyedihan: ia pergi ketimbang menerima ketakutan kehilangan kekayaannya (bdk. Mrk 10:17-22).

Kapan pun engkau takut kepada Tuhan, ingatlah kata-kata peneguhan dari Yesus: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan." (Mat 11:28-30). Allah telah dekat dengan kita dalam Yesus; tiada yang perlu ditakutkan dari Dia.

 .......dilanjutkan pada Session 3...............

Senin, 27 Oktober 2014

Session 1: Praying The Truth. Deepening Your Friendship with God through Honest Prayer

Session 1: Praying The Truth. Deepening Your Friendship with God through Honest Prayer

Praying The Truth. Deepening Your Friendship with God through Honest Prayer (Chicago: Loyola Press, 2012)
 
By: William A. Barry, SJ,

1. Doa sebagai Relasi

Mengapa mengaitkan kejujuran dengan doa? Saya akan menceritakan bagaimana buku ini muncul.

Saya percaya bahwa Allah menginginkan suatu hubungan pribadi, suatu persahabatan yang dewasa, dengan masing-masing dari kita dan bahwa doa adalah cara terbaik untuk membangun relasi persahabatan itu. Yang saya maksud dengan doa adalah apa yang terjadi ketika saya sadar akan kehadiran Allah. Maka doa dapat sama sederhananya dengan memperhatikan seorang anak kecil yang mencoba berkata-kata, melihat sinar matahari yang menerpa pohon berselimutkan salju, bermain-main dengan anjingmu, merasakan angin yang membelai wajahmu, mendengarkan burung yang berkicau, menghirup aroma gurih daging yang digoreng, memandang seseorang yang engkau cintai; semua dapat menjadi doa jika engkau sadar akan kehadiran Allah saat engkau mengalami semua itu.

Doa dapat sesederhana mengucapkan “Tolonglah aku” ketika aku sedang jatuh atau “Betapa membahagiakan” ketika aku bergembira karena seorang teman menelpon menanyakan bagaimana kabarku, sepanjang aku secara sadar memikirkan atau mengucapkan kata-kata itu kepada Allah. Doa dapat terjadi ketika aku berjalan-jalan di hutan, mengagumi keindahan alam dan kemegahan apa yang kulihat, asalkan aku sadar bahwa aku berjalan-jalan bersama Sang Pencipta hutan ini. Doa mencakup wilayah luas yang terhampar di hadapanku. Semuanya merupakan doa asalkan aku menyadari kehadirah Allah dalam setiap aktivitas yang kulakukan.

Ignatius dari Loyola dikenal karena ingin menemukan Allah dalam segala hal – yaitu, dapat melakukan banyak hal sekaligus dan pada saat bersamaan menyadari kehadiran Allah. Dengan kata lain, dia ingin berada dalam keadaan doa sepanjang waktu. Ah, itu cita-cita yang terlalu tinggi, mungkin engkau akan mengatakan demikian. Namun Ignatius percaya bahwa seseorang dapat mencapai hal ini dengan bantuan Allah dan dengan berlatih secara rutin memperhatikan apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dia dapat mengharapkan mengalami hal seperti itu karena yakin bahwa Allah, pencipta alam semesta, tidak pernah absen dari setiap bagian dari alam semesta ini. Karena itu, entah kita sadar atau tidak, kita selalu berada di hadirat Allah apa pun yang kita lakukan.

Doa sebagai hubungan yang disadari adalah jalan utama untuk menemukan Allah dalam segala hal dan untuk memperdalam hubungan dengan Allah. Tentang itulah buku ini berbicara. Kita bertumbuh dalam persahabatan dengan orang lain dengan menjadi semakin jujur atau transparan satu sama lain. Yang saya maksud dengan mengungkapkan kebenaran mencakup kejujuran dan tranparansi, tetapi saya akan menjelaskan nanti apa maksudnya secara konkret bagimu. Sekarang saya ingin menyebutkan beberapa pengalaman akhir-akhir ini yang menginspirasi saya untuk menulis tentang topik ini.

Selama masa Prapaskah 2010 saya memutuskan untuk bertanya kepada Allah setiap hari: “Apa yang Engkau inginkan dalam persahabatan kita?” Begitu saya memulai berfokus pada pertanyaan ini, langsung saja saya merasakan cinta Allah kepada saya. Lalu saya mengalami contoh nyata cinta itu, baik dalam doa maupun hidup sehari-hari saya. Saya menerima pengalaman ini sebagai jawaban Allah. Kemudian doa saya berjalan rutin seperti biasa, yaitu dipenuhi dengan lanturan tentang kekhawatiran atau pekerjaan yang mesti diselesaikan. Ketika saya menyadari hal ini dan berpaling kembali kepada Allah, saya mengatakan seperti ini, “Saya mengalami hal itu lagi.” Allah tampaknya menjawab, “Mengapa engkau tidak menceritakan kepada-Ku tentang lanturan itu.” Ketika saya melakukannya, saya melihat bagaimana gagasan dan kegelisahan itu menguap. Selanjutnya saya menjadi tahu bagaimana cara mendekati, dengan cara lebih positif dan tidak terlalu berpusat pada diri sendiri, apa yang akan saya kerjakan atau orang yang perlu saya beri perhatian. Ketika saya mulai berbicara kepada Allah tentang lanturan, lanturan itu tidak lagi menjadi lanturan; lanturan malah menjadi pembuka dialog dan saya semakin transparan kepada Allah.

Seorang perempuan yang datang kepada saya untuk bimbingan rohani menceritakan kepada saya betapa dia frustasi atas situasi pekerjaannya. Saya bertanya kepadanya apakah dia telah berbicara dengan Allah tentang frustasinya ini. Dia menjawab sudah, tetapi tidak ada gunanya; dia malah semakin frustasi dan marah. Saya bertanya bagaimana Allah menanggapi frustasinya. Perempuan itu menjawab, “Saya tahu Dia pasti mendengarkan dan bahwa Dia akan mendampingi saya.” Saya katakan, “Saya tidak bertanya apa yang engkau pikirkan, tetapi bagaimana Allah menanggapi?” Dia tercenung dan menyadari bahwa dia tidak tahu persis; dia hanya menduga tanggapan Allah. Saya menggarisbawahi lagi bahwa kita tidak berbicara mengenai dugaan perempuan ini tentang tanggapan Allah, tetapi mengenai tanggapan yang sesungguhnya dari Allah. Sejalan dengan berlanjutnya pembicaraan kami, dia menjadi sadar akan perbedaan antaran dialog dengan monolog dan bagaimana dia merasa lebih baik ketika dia mengungkapkan yang sebenarnya kepada seseorang, termasuk kepada Allah. Dan dia merasa didengarkan, juga ketika tidak ada solusi langsung atas kekhawatiran dan keprihatinannya.

Dengan sedikit rasa bersalah seorang pria dalam bimbingan rohani terus-menerus mengungkapkan kekhawatirannya akan kemarahan orang lain atau kemungkinan kemarahan kepadanya. Dia sering menjauh untuk menghidari orang yang mungkin akan marah kepadanya. Doa kadang menjadi waktu untuk merenungkan situasi ini serta orang tersebut dan meminta Allah untuk membantunya mengatasi hal ini. Akhirnya pada suatu hari dia dapat menceritakan kepada Allah apa yang dia rasakan tentang orang-orang dan situasi tersebut dan melihat bagaimana Allah menanggapi. Pada titik inilah pria itu menceritakan kepada saya bahwa dia merasa tenang dengan gambaran peristiwa Yesus dengan Martha dan Maria dan dia dapat menceritakan lebih banyak lagi tentang apa yang sebenarnya ia alami. Ada air mata yang mengalir dari matanya.

Contoh terakhir saya ambil dari sesi bimbingan rohani yang lain pada saat yang sama. Seorang pekerja sosial yang profesional sedang berurusan dengan penyakit yang sangat menyakitkan dalam keluarganya, penyakit yang tampaknya semakin memburuk dari hari ke hari. Sebelumnya dia mampu menanggung hal ini dan merasakan penghiburan dari kehadiran Allah yang menopang dia dan keluarganya. Namun minggu ini dia merasa sangat marah kepada orang yang sakit itu dan marah serta putus asa terhadap situasi ini. Bukannya menceritakan kepada Allah tentang apa yang dia rasakan, dia pergi ke luar dan mencari minuman keras untuk meredakan ketegangan. Kemudian, ketika dia melihat kembali apa yang terjadi, dia menyadari bahwa krisis ini telah membawanya ke titik puncak dalam hidupnya yang perlu diungkapkan kepada Allah, yaitu kemarahan dan keputusaasan. Maka dia memutuskan untuk mengungkapkan sisi lain dirinya ini kepada Allah.

Pengalaman-pengalaman ini memicu beberapa gagasan yang telah menjadi perhatian saya selama bertahun-tahun tentang Mazmur sebagai doa dan tentang bagaimana kita tumbuh dalam persahabatan. Saya telah memikirkan tentang menulis sebuah buku menggunakan Mazmur, atau Mazmur terpilih, sebagai contoh kejujuran dan tranparansi, atau pengungkapan kebenaran, di hadirat Allah. Pemazmur mengatakan serahkan semuanya dalam doa.  Mereka sering mengucapkan apa yang tak terucapkan kepada Allah. Sepanjang abad buku Mazmur tetap diyakini sebagai model doa, namun menjadi model doa yang dalam prakteknya jarang diikuti.

Maka saya bermaksud untuk menjalin percakapan denganmu tentang apa yang mungkin berguna bagi hidup doamu, yaitu untuk menjalin hubungan persahabatan dengan Allah, persahabatan yang sangat diinginkan oleh Allah. Untuk bertumbuh dalam persahabatan, engkau dan Allah perlu semakin jujur dan transparan satu sama lain; engkau dan Allah perlu mengungkapkan yang sebenarnya satu sama lain. Dalam proses ini, saya percaya, engkau akan menemukan dirimu pelan-pelan diubah.


2. Doa dan Persahabatan

Marilah kita melihat bagaimana persahabatan bertumbuh. Saya mengundang engkau untuk memikirkan seorang temanmu yang baik dan mengingatnya dalam benakmu selama engkau merenungkan uraian berikut ini.

Kejujuran: Pondasi Persahabatan
Dalam novel That Old Cape Magic karangan Richarch Russo, Jack Griffin dan teman lamanya, Tommy, bertemu kembali di Hollywood setelah Jack bercerai dengan istrinya. Setelah paragraf yang menjelaskan bagaimana mereka saling memperhatikan satu sama lain, masing-masing menghindari kegaduhan atau pertanyaan yang mungkin menganggu yang lain, Russo menulis: “Mereka berhati-hati seolah kehati-hatian dan bukan kejujuran merupakan pondasi dari persahabatan.” Russo benar. Kejujuran adalah pondasi persahabatan. Manakala kita merasa bahwa kita sangat berhati-hati dengan seorang teman, kita tahu bahwa persahabatan berada dalam masalah karena kita menghindari persoalan peka yang membuat sulit untuk jujur satu sama lain.

Persahabatan berkembang lewat kejujuran timbal balik, lewat menceritakan yang sebenarnya atau transparansi. Saya yakin bahwa persahabatan yang Allah inginkan dan tawarkan kepada kita berkembang seperti itu juga. Pada Perjamuan Malam Terakhir dalam Injil Yohanes, Yesus berkata kepada murid-muridnya dan kepada kita:

Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.
Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.
Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu. Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain."
Yohanes 15: 14-17

Lihatlah bahwa Yesus berkata, “Aku telah memanggilmu sahabat, karena aku telah mengatakan kepadamu segala yang telah aku dengar dari Bapa.” Dia telah mengungkapkan kebenaran kepada mereka dan kita. Dia berharap bahwa kita pun menanggapinya kejujuran itu. Apakah ini masuk akal bagimu? Apakah engkau tertarik? Jika ya, silahkan teruskan membaca.

Pemberian Tugas bukanlah hal utama yang menarik bagi Allah


Dalam Pengantar saya menyebutkan tentang kebiasaan saya pada Masa Prapaskah 2010, yaitu bertanya tentang apa yang Allah inginkan dalam relasi persahabatan kami. Suatu hari Allah tampaknya berbicara kepada saya, “Hampir setiap kali engkau bertanya kepadaku tentang apa yang Aku inginkan darimu, engkau mencari sesuatu untuk engkau kerjakan bagi-Ku. Aku tidak ingin engkau melakukan sesuatu bagi-Ku; Aku ingin engkau menjadi sahabat-Ku, supaya Aku dapat menyingkapkan diri-Ku kepadamu dan supaya engkau dapat menyingkapkan dirimu kepada-Ku. Tugas untuk dikerjakan biarlah berjalan dengan sendirinya.” Sebagaimana biasanya dalam situasi penuh lanturan, saya langsung mendapat ide seperti ‘wah ini akan menjadi bahan sebuah buku yang menarik’. Namun Allah terus datang kembali dengan tema yang sama. Pada suatu titik saya diingatkan bahwa saya telah menulis tentang kerapuhan dan keterbatasan Allah; Allah tampaknya berkata, “Ini adalah contoh kerapuhan dan keterbatasan-Ku. Engkau dan banyak orang lain terus berbicara kepada diri kalian sendiri tentang apa yang Kuinginkan, tetapi kalian tidak memberi kesempatan kepadaku untuk menyatakannya kepada kalian. Akibatnya, kalian sering kali salah tangkap.”

Saya mencoba merumuskan apa yang saya alami dalam periode doa itu. Saya tidak mendengar suara mengatakan kalimat yang saya tulis dalam tanda kutip; saya menyajikan gambaran apa yang saya tangkap dari percakapan itu. Setelah saya merenungkannya, tampaknya itu memang benar berasal dari Allah. Saya yakin bahwa saya tidak hanya mengigau.

Pernahkan engkau mengalami hal semacam itu? Mungkin engkau berbicara kepada Allah tentang sesuatu yang penting bagimu, berbicara tentang anakmu yang sakit, dan merasa bahwa engkau sendirian dalam apa yang engkau prihatinkan, bahwa Allah juga menaruh perhatian kepada anakmu dan kepadamu. Itu adalah perasaan yang saya maksud ketika saya mengatakan bahwa Allah menanggapi. Suatu ketika seorang yang saya kenal merasa sangat marah kepada Allah karena dia kehilangan orang tua pada saat ia berusia muda. Dia mengatakan kepada Allah, dalam ungkapan yang keras, bagaimana dia marah tentang hal itu. Saya bertanya apa yang dia rasakan setelah marah-marah dalam doa itu. Dia merasa lebih baik dan merasa telah didengarkan dan diterima. Inilah bentuk pengalaman yang saya maksud ketika saya berbicara tentang mendengarkan tanggapan Allah. Selanjutnya saya akan membahas bagaimana menentukan apakah pengalaman Anda benar-benar dari Allah atau bukan.

Apa itu berdoa?


Marilah kita merenungkan lagi tentang “percakapan” saya. Allah tampaknya sungguh lebih tertarik pada persahabatan yang sejati dibanding pelaksanaan pekerjaan. Dengan kata lain, Allah tidak begitu tertarik memberikan perintah kepada saya untuk melakukan sesuatu dibanding persahabatan kami. Selain itu, saya mengambil kesimpulan dari “percakapan” ini bahwa bagi Allah persahabatan tampaknya tumbuh dari penyingkapan diri timbal balik, mengungkapkan kebenaran tentang diri satu sama lain.

Bagaimana engkau memahami doa? Ambil waktu sebentar untuk merenungkan apa yang engkau lakukan ketika engkau berdoa.
Saya pun sering sekadar mengucapkan doa, seperti “Bapa Kami” dan “Salam Maria”. Saya akan mengucapkan doa tanpa perhatian dan pada akhirnya sulit untuk menyadari apa yang telah saya katakan atau sadar bahwa saya telah berbicara kepada seorang pribadi. Kadang saya mengatakan kepada Allah betapa saya menyesal atas apa yang telah saya lakukan, namun kata-kata itu meluncur begitu saja, tanpa emosi dan perhatian. Lain kali saya mulai mengatakan kepada Allah tentang suatu hal yang menjadi perhatian saya dan kemudian saya mulai memikirkan pemecahan persoalan atau membayangkan dialog dengan orang yang saya perlu saya bantu atau dengan orang yang membuat saya marah. Saya menyadari bahwa sebagian besar “doa” saya sesungguhnya hanya monolog; saya berbicara pada diri saya sendiri dan mereka-reka kemungkinan tanggapan Allah. Apakah gambaran tentang “doa” macam ini sesuai dengan pengalamanmu?

Bagaimana mungkin engkau mengalami Allah “berbicara” kepadamu, jika “Engkau dan banyak orang lain terus berbicara kepada diri kalian sendiri tentang seperti apa Aku. Namun kalian tidak memberikan kesempatan kepada-Ku untuk menyatakan diri kepada kalian.” Allah sama sekali tidak tertarik dalam monolog atau pada penjelasan uraian tugas atau pekerjaan: Allah menginginkan percakapan antarsahabat, percakapan yang di dalamnya ada kesempatan untuk mendengarkan dan berbicara pada dua belah pihak. Maka bagi Allah, doa adalah sebuah dialog, bukan monolog.

Langkah Awal 


Bagiamana kita mulai berdiolog dengan Allah? Inilah yang ingin saya lakukan sekarang. Saya mencari tempat di mana saya tidak akan banyak terganggu. Paling sering saya melakukannya di kapel rumah. Namun engkau dapat mencobanya di ruang makan saat engkau minum kopi pada pagi hari, atau ruang tamu jika tidak ada orang lain di sana, atau di gereja atau kapel dekat rumahmu. Engkau juga dapat berjalan-jalan di hutan atau taman.

Setelah saya cukup tenang di tempat itu, saya mengingat bahwa Allah menantikan saya agar mengarahkan hati kepada-Nya, memandang saya, seperti yang ditulis oleh St Ignatius dari Loyola pada Latihan Rohani (No 75). Saya memohon agar Allah membantu saya untuk mengarahkan hati kepada-Nya, menarik saya keluar dari kecenderungan memusatkan perhatian pada diri sendiri. Kemudian saya menyampaikan kepada Allah apa yang saya inginkan; misalnya, pada masa Prapaskah 2010 saya meminta Allah untuk memberitahu saya apa yang Dia inginkan dalam relasi persahabatan kami. Setelah itu, saya mencoba memusatkan perhatian saya kepada Allah – Bapa, Putra dan Roh Kudus – dan membiarkan segalanya tersingkap. Kadang-kadang saya mendapati diri berada dalam dialog seperti yang sudah saya gambarkan sebelumnya, tetapi selalu dalam cara yang seperti itu. Kadang-kadang muncul gagasan-gagasan kepada saya, dan saya tahu apa yang saya alami berbeda dari pengalaman ketika saya berbicara pada diri saya sendiri.
Saya telah sebutkan bahwa saya meminta kepada Allah tentang apa yang saya inginkan selama waktu berdoa ini. Hal ini membantu kita untuk memfoskukan percakapan untuk mengetahui mengapa kita ingin berada bersama dengan pribadi lain. Maka perhatikanlah apa yang engkau inginkan dari Allah setiap kali engkau memulai untuk berdoa. Bayangkan Yesus berkata kepadamu apa yang Dia katakan kepada dua murid Yohanes Pembaptis ketika mereka mendekati-Nya: “Apa yang kalian cari?” (Yoh 1:38). Apa tanggapan spontanmu? Mulailah dengan keinginan itu hingga keinginan lain muncul.

Perhatikan bahwa Yesus menyampaikan kepada mereka pertanyaan pribadi, “Apa yang kalian inginkan?” Mereka dapat menjawab itu hanya jika mereka jujur. Dalam kisah Injil mereka tergagap, “Guru di mana engkau tinggal?” Ini adalah jawaban dangkal, tetapi Yesus mengundang mereka untuk datang dan melihat. Maka mulailah perjalanan persahabatan mereka dengan Yesus. Mungkin engkau ingin mengetahui bahwa Yesus peduli padamu. Maka, katakan langsung saja dan tunggu serta lihat apa yang terjadi.

Doa adalah hal sederhana ketika engkau sudah melakukannya. Doa tidak lain daripada dua orang sahabat yang ngobrol berdua, berbagi pemikiran dan perasaan, meminta dan menerima pengampunan, meminta dan menerima nasihat. Doa adalah apa yang terjadi ketika dua orang sahabat bersama dan saling sadar akan kehadiran pribadi lain. Engkau mungkin telah tahu banyak tentang hal ini. Saran saya boleh jadi hanya meneguhkan engkau untuk percaya akan apa yang telah engkau lakukan dalam doa.

LATIHAN 1:

Bercerita kepada Allah tentang Ketertarikanmu

Langkah pertama menuju persahabatan terjadi ketika aku tertarik kepada seseorang dan berusaha menunjukkan ketertarikan itu entah bagaimana caranya. Ini adalah momen kerapuhan, tetapi ini sangatlah perlu agar persahabatan memperoleh pinjakan. Seseorang yang bernisiatif untuk mulai langkah pertama rapuh, karena ada kemungkinan penolakan, kemungkinan bahwa orang lain itu tidak tertarik menjalin persabatan dengannya.

Kita tahu Allah telah mengambil langkah pertama dalam kerapuhan; Allah menciptakan kita untuk persahabatan, dan kita dapat menolak tawaran itu. Sementara itu, kita mengambil langkah pertama ketika kita mendapati diri tertarik kepada Allah dan mengungkapkan ketertarikan itu. Pernahkah engkau mengatakan kepada Allah bahwa engkau tertarik kepada-Nya, dan bahwa engkau ingin bersahabat dengan-Nya? Apa yang terjadi ketika engkau melakukan hal itu?

Apakah Engkau terarik pada Allah?


Saya percaya bahwa kita semua tertarik pada Allah. Dalam setiap pribadi ada sesuatu yang sering kali muncul, yaitu rasa bahagia dan hasrat akan “sesuatu yang kita tidak tahu itu apa.” Hal ini dapat muncul dalam diri kita pada saat yang tidak biasa, tetapi paling sering terjadi ketika kita melupakan diri kita dan sungguh menaruh perhatian penuh pada sesuatu yang ada di hadapan kita.  Saya telah menemukan contoh hasrat seperti itu dalam novel atau cerita detektif, dalam otobiografi – juga dari orang yang tidak peduli akan Allah – dalam puisi, dan dalam percakapan dengan orang kebanyakan.
Suatu kali saya tinggal sendirian di sebuah rumah di tepi pantai. Pada saat makan malam saya terperanjat melihat bulan purnama terbit dari laut. Setelah makan malam saya pergi keluar dan berjalan-jalan sepanjang pantai. Bulan sedemikian terang sehingga sembari berjalan saya dapat melihat bayangan saya. Kemudina saya menyaksikan bagaimana sinar bulan membuat ombak berwarna keperakan dengan tenang menyentuh pantai. Sepanjang perjalan saya melihat garis keperakan datang dan pergi. Saya merasakan bahagia yang mendalam dan sebuah hasrat. Bukan hanya hasrat untuk terus menyaksikan keindahan di depan mata saya, tetapi hasrat akan sesuatu yang lebih lagi. Saya merasa dilingkupi rasa syukur kepada Allah atas peristiwa ini. Belakangan seorang rahib Benediktin dari Inggris, Sebastian Moore, memberi saya kata-kata untuk menggambarkan hasrat yang saya rasakan: “hasrat yang kita tahu itu apa”, hasrat akan Misteri yang kita sebut Allah. Keindahan malam itu telah menyerap saya sehingga sejenak saya lupa akan banyak urusan kecil, dan menyadari betapa saya tertarik kepada Allah yang menciptakan dunia yang indah ini dan memberikan kesempatan kepada saya untuk menyaksikan-Nya sebagai seniman yang hebat.

Saya percaya bahwa hasrat Allahlah yang menciptakan kita dan memelihara kita sehingga tetap ada. Allah selalu mencoba untuk menarik kita agar lebih dekat dalam persahabatan dengan-Nya. Ketika kita terkejut akan sesuatu seperti pada malam bulan purnama itu, kita merasakan hasrat akan Allah dan hasrat terdalam untuk menjawab hasrat Allah. Mungkin engkau ingat akan pengalaman semacam ini dalam hidupmu.

“Jiwaku Haus akan Dikau”

Sejumlah Mazmur mengungkapkan hasrat yang dalam akan Allah. Misalnya: “Seperti rusa yang mendambakan sungai yang berair, jiwaku merindukan Engkau, ya Allah.” (Mzm 42:1).

Mazmur 63 bahkan lebih kuat:
Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku mencari Engkau,
jiwaku haus kepada-Mu;
tubuhkau rindu kepada-Mu
seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair.
Mzm 63:1

Hati pemazmur terbuka di hadapan Allah; ia tidak ragu-ragu mengungkapkan ketertarikannya yang mendalam kepada Allah. Ia tahu rasa haus seseorang yang terjebak di padang gurun dan membandingkan hasratnya akan Allah dengan rasa haus itu. Kemudian dia menggambarkan bagaimana hasratnya akan Allah terpuaskan seperti dalam pesta yang meriah. Hasratnya sedemikian kuat sehingga dia tidak pernah ingin melupakan Allah.

Demikianlah, kita didorong untuk membiarkan Allah tahu bagaimana kita tertarik kepada-Nya, dan kita dapat melakukannya dengan segala cara yang paling sesuai dengan diri kita. Bagi pemazmur, rasa haus di padang gurun tampaknya paling mirip dengan hasratnya akan Allah. Engkau dapat mengungkapkan hasratmu akan Allah dengan kata-katamu sendiri.

Jika kita menyadari bahwa keberadaan kita tergantung pada hasrat Allah pada kita, kesadaran ini akan mempermudah kita untuk membalasnya. Hasrat kita kepada Allah hanyalah bayangan pucat akan hasrat Allah kepada kita.

Sembari engkau mencoba untuk mengungkapkan hasratmu kepada Allah, engkau mungkin akan terbantu oleh doa teman saya, John Carmody, yang ditulis beberapa minggu sebelum kematiannya karena multiple myeloma:

Engkau memberikan kepada kami dua perintah
dan membiarkan mereka menyatu.
Kami mesti mencintaimu dengan sepenuh hati
dan mencintai sesama seperti diri sendiri ...

Aku mencintai-Mu, ya Tuhan, sepanjang hiduku hingga aku dewasa.
Aku mencintai-Mu dengan cara yang buruk, setengah hati, dan tidak murni.
Namun sejak semula aku tahu apa arti nama-Mu bagiku,
sejak semula aku merasa diterima apa adanya,
sejak itulah aku tahu bahwa engkaulah segala yang kubutuhkan atau kuinginkan.
Engkaulah yang mengatur hidupku dan membuatnya bermakna.

Apa balasanku kepada-Mu
Atas segala anugerah kasih yang telah Engkau curahkan kepadaku?

Aku akan senantiasa mengingat Engkau
menaruh harapan akan Dikau,
percaya bahwa engkau senantiasa menjaga aku,
percaya akan kasih yang Engkau curahkan dalam hatiku
sepanjang hari-hari dalam hidupku
dan di surga-Mu yang akan datang.

Sungguh ungkapan yang jujur, menyentuh hati tentang kerinduan akan Allah dari seorang yang sedang sekarat. “Aku mencintai-Mu, ya Tuhan, sepanjang hiduku hingga aku dewasa. Aku mencintai-Mu dengan cara yang buruk, setengah hati, dan tidak murni. Namun ... aku tahu bahwa engkaulah segala yang kubutuhkan atau kuinginkan.” Masing-masing dari kita dapat berkata, bahwa jika saya mencintai Allah, itu saya lakukan dengan buruk, tidak sepenuh hati, dan tidak murni. John Carmody mengungkapkan kepada Allah kebenaran, baik tentang ketertarikannya dan ambivalensinya. Kita pun dapat melakukan yang sama.

Latihan:


Ambillah waktu pribadi ungkapkanlah ketertarikanmu kepada Allah. Ungkapkalah secara bebas dengan cara yang bagimu paling nyaman. Ungkapkan kerinduanmu untuk semakin mengenal Dia, mengalami dia, memberikan diri bagi Dia, mencintai Dia. Ungkapkan juga caramu mencintai yagn “buruk, tidak sepenuh hari, tidak murni, bahkan kadang diwarnai kepentingan pribadi.” Ungkapkan semuanya dengan jujur, terbuka, apa adanya.
Ambil waktu untuk menyadari tanggapan Allah. Allah dengan penuh perhatian mendengarkan curahan hati-Mu. Ia tersenyum bahwa engkau membalas cinta-Nya dan ingin bersahabat dengan-Nya.

Lagu Penutup Doa: Confession (Josh Groban)

Refleksi (dicatat. Waktu 10’)

Apa yang engkau ungkapkan kepada Tuhan? Perasaan apa yang muncul ketika engkau mengungkapkan hal itu? Apakah engkau merasakan tanggapan Tuhan terhadap Engkau? Dorongan apa yang muncul dalam hatimu?

............DILANJUTKAN PADA SESSION 2................