Novena Kanak-Kanak Yesus

Keajaiban Doa Novena Kanak Kanak Yesus dan Doa Mujizat

Keajaiban Doa Novena Kanak Kanak Yesus dan Doa Mujizat Mari kita bersama mendoakan Novena Kanak Kanak Yesus dalam menyambut kelahir...

Kamis, 30 Oktober 2014

Session 2: Praying The Truth. Deepening Your Friendship with God through Honest Prayer

Session 2: Praying The Truth. Deepening Your Friendship with God through Honest Prayer

By: William A. Barry, SJ,  

2. Doa dan Persahabatan
(lanjutan)

Seni Mendengarkan

Tidaklah mudah untuk saling mendengarkan. Ketika orang lain mulai berbicara, kita mulai berpikir bagaimana kita akan menanggapi. Bagi banyak orang di antara kita, percakapan lebih-lebih dimaksudkan untuk menjaga agar pembicaraan tidak berhenti, bukan sungguh-sungguh menaruh perhatian pada pikiran dan hati dari orang yang sedang berbicara. Jika saya memasuki percakapan dengan gagasan bahwa saya harus melaksanakan tugas saya agar percapakan tetap berlangsung, maka saya mungkin menggunakan paling sedikit separuh hati dan pikiran saya untuk berusaha agar percakapan selanjutnya tetap berjalan. Akibatnya saya tidak mendengarkan dengan baik.

Terlalu terserap pada urusan pribadi juga membuat kita tidak dapat mendengarkan dengan baik. Misalnya, saat seorang teman mulai berbicara tentang punggugnya yang sakit, saya mulai berpikir tentang punggung saya sendiri dan mengatakan kepadanya: “Saya tahu bagaimana rasanya” dan saya mulai berbicara tentang punggung saya yang sakit. Atau saya menceritakan kepadanya apa yang membantu saya atau kenalan mengurangi rasa sakit dan menasihatinya untuk melakukan hal serupa. Dia sendiri mungkin tidak memperoleh kesempatan untuk menceritakan bagaimana penyakit ini telah mengubah hidupnya dan perasaannya.

Kadang-kadang seorang sahabat mulai bercerita kepada saya tentang kepedihan dan kesedihan yang mendalam, yang mengingatkan saya akan perasaan tidak diterima atau perasaan yang kadang-kadang muncul bahwa tidak ada cahaya di ujung terowongan. Saya ingin sekali keluar dari topik macam itu secepat mungkin. Karena itu saya mencoba menguatkan sahabat saya, mengatakan kepadanya bahwa perasaan macam itu pasti akan segera lewat. Maka, saya menghalangi sahabat saya untuk menceritakan seluruh kebenaran tentang dirinya. Mungkin dia hanya ingin didengarkan.
Seni untuk mendengarkan itu tidak mudah dipelajari, juga bagi mereka yang pekerjaannya menuntut hal itu. Belajar mendengarkan itu sulit bagi saya saat saya masih sebagai seorang psikolog pemula dan kemudian mulai menjadi pembimbing rohani. Dalam kedua kasus ini saya sering terlalu menaruh perhatian pada bagaimana saya menanggapi orang lain daripada mendengarkan dengan baik. Akibatnya saya tidak menangkap pengaruh emosional yang lebih dalam dari apa yang sedang diceritakan oleh seseorang kepada saya. Kita begitu ingin membantu sehingga kita tidak mampu mendengarkan dengan baik. Yang membantu saya sebagai seorang psikolog maupun pembimbing rohani adalah supervisi. Saya menemukan bagaimana kecemasan diri saya sendiri terungkap dan pelan-pelan saya disapih dari kebutuhan untuk memiliki tanggapan yang tepat. Suatu ketika saya mendapati diri sungguh mendengarkan orang lain, terserap, bahkan merasa terhormat, atas apa yang sedang dikomunikasikan dan merasa dipercaya oleh orang lain, dan kemudian mampu mengkomunikasikan bahwa kami sambung dan segelombang satu sama lain. Saya melakukan hal ini tanpa harus berjuang keras. Setelah itu saya mampu, secara umum, melepaskan keinginan saya untuk menjawab atau mencari bahan untuk menjaga agar percakapan tetap berlangsung. Namun demikian, kebutuhan untuk selalu memecahkan masalah sulit untuk dihilangkan. Hingga hari ini saya saya merasa tidak enak jika seseorang meninggalkan sesi bimbingan rohani tanpa solusi atas persoalannya yang berat. Di manakah saya telah gagal? selalu menghantui pikiran saya.

Budaya kita tampaknya yakin bahwa setiap persoalan dapat dipecahkan dengan sedikit kercerdikan dan niat baik. Maka jika seseorang menyampaikan persoalannya kepada kita, kita mungkin merasa bahwa kita belum melaksankan tugas jika hanya mendengarkan orang itu dengan belarasa. Saya telah percaya bahwa sekadar mendengarkan dengan empati dan seperasaan adalah kapasitas yang lebih dibutuhkan dalam dunia ini, suatu yang persediaanya sangat sedikit dibanding memenuhi kebutuhan yang ada.  Bahkan, saya telah sampai pada keyakinan bahwa kapasitas inilah kekuatan terbesar Allah dan sesuatu yang Allah inginkan agar kita tiru demi kesejahteraan dunia. Allah bukan seperti yang sering kita pahami; dia bukan solusi setiap persoalan, bukan seorang Mr Fixit. Janji yang Allah berikan kepada kita tidak lebih dari sekadar menjadi sahabat, dan dalam hari-hari baik saya hal ini cukup bagi saya.

Mendengarkan Allah

Jika kita mempunyai persoalan dalam mendengarkan orang lain, kita pun akan mendapat soal dalam mendengarkan Allah. Pertama-tama, menurut Yesus, cinta Allah nampak dalam cinta kita kepada sesama. Dan mendengarkan sesama tanpa mencari kepentingan untuk diri sendiri adalah salah satu tanda bahwa kita sungguh mencintai sesama itu. Maka jika kita tidak dapat melakukan hal ini kepada sesama kita, kita tidak dapat melakukannya kepada Allah. Saya telah menemukan bahwa belajar untuk mendengarkan orang lain dengan baik sama dengan belajar mendengarkan Allah dengan baik.

Lewat buku ini engkau akan menemukan contoh bagaimana Allah telah berkomunikasi dengan saya dan orang lain. Dalam setiap kasus mereka yang telah “mendengar” Allah berkomunikasi, paling tidak pada saat itu, telah mampu hadir pada saat sekarang dan melupakan urusan mereka sendiri. Misalnya, seorang pria yang menulis kepada saya bahwa dia akan “berjalan dan bercakap-cakap dengan Allah, menceritakan kepada Allah betapa sulit untuk menjadi tenang setelah kematian ayah saya, dan dia menemukan penghiburan yang datang hampir tiba-tiba.” Dalam kehadiran itu dia menceritakan kepada Allah apa yang dia rasakan dan mengalami penyembuhan. Seorang perempuan yang berada di kapel rumah sakit menjalani hari yang berat, seperti halnya para dokter dan perawat dalam unitnya, karena kematian lima orang pasien muda. Dia dipanggil datang ke unitnya untuk membantu para staf berbicara tentang derita yang baru saja mereka alami. Dia merasa terbeban dan marah. Saat dia berjalan menuju unitnya, dia mulai berteriak kepada Allah, mengatakan kepada-Nya betapa dia marah dan bahwa setiap orang menuntut terlalu banyak darinya. Saat dia masuk ke unitnya, salah satu perawat mengatakan, “Ini dia D, hembusan udara segar.” Ia baru saja membaca artikel yang membandingkan belarasa dengan oksigen. Ia merasa dilingkupi oleh kehadiran Allah dan sangat bersyukur bahwa Allah memberikan kesempatan kepadanya menjadi perwujudan bela rasa bagi staf. Perempuan ini hadir pada rasa sakit dan kemarahan dirinya dan menyampaikan kepada Allah tentang hal itu dan segera saja merasakan tanggapan Allah melalui komentar seorang perawat ketika melihatnya.

Seorang pastor muda bercerita kepada saya bahwa suatu ketika dia berada di kapel dan merasakan cinta yang kuat kepada Allah dan mengatakan kepada Allah, “Saya mencitai-Mu.” Dan langsung saja dia merasa bahwa Allah berkata, “Aku mencintaimu juga.” Dalam peristiwa itu ia merasa dipenuhi dengan suka cita, syukur dan perasaan damai. Meski demikian, tiba-tiba sebuah gagasan muncul, Bagaimana aku tahu bahwa yang berbicara adalah Allah? Bisa saja aku bercanda dengan diriku sendiri. Ketika ia pertama kali mengatakan kepada saya bahwa ia mendengar tanggapan Allah, ia hanya mengingat kembali bahwa ia merasa takut dan bertanya-tanya heran. Namun ketika saya memintanya mengingat pengalaman itu, ia menyadari bahwa pertanyaan itu telah menggusur ingatan akan suka cita, syukur dan perasaan damai. Dalam peristiwa ia mengatakan kepada Allah: “Aku mencintai-Mu,”  ia sepenuhnya hadir dan karena itu mampu mengalami tanggapan Allah. Namun sekian per detik setelahnya, ia kehilangan rasa kehadiran dan mulai ragu akan apa yang baru saja terjadi, dan, tentu saja, ia kehilangan kontak dengan Allah.

Kita mendengarkan Allah, saya yakin, ketika kita ditangkap oleh realitas sekarang, dan tidak cemas akan masa lalu atau masa depan. Dalam realitas itu yang kita jumpai lebih dari sekadar apa yang hadir di hadapan mata kita; kita juga merasakan sebuah Kehadiran yang membuat jantung kita berdetak lebih cepat dan memberikan kita harapan dan keberanian. Dan rasa akan kehadiran Allah pada realitas saat ini dapat terjadi pada peristiwa yang aneh dan menakutkan. Ketika Julian of Norwich dan setiap orang merasa bahwa ia sedang sekarat, ia mendengar kata-kata ini: “Semua akan baik dan segala sesuatu akan baik – All shall be well and all manner of thing shall be well.”

Bagaimana aku tahu bahwa aku mendengar Allah?

“Bagaimana aku dapat yakin bahwa apa yang kudengar sungguh berasal dari Allah?” Itulah yang ditanyakan pastor muda tadi kepada saya. Saya pun mengajukan pertanyaan serupa tentang pengalaman doa saya. Berikut ini cara saya menyimpulkan. Setelah waktu doa itu, saya memeriksa apa yang telah terjadi. Saya menemukan bahwa selama waktu yang kemudian saya tulis sebagai tanggapan Allah, saya berfokus dan dengan mudah dapat mengingat lagi apa yang telah terjadi dan apa yang tampaknya Allah nyatakan. Saya lebih tertarik pada apa yang sedang terjadi. Saya merasa Allah dan saya sungguh saling hadir dan bahwa saya dibimbing menuju hubungan yang lebih mendalam dengan Allah. Dan apa yang saya “dengar” sungguh sesuai dengan apa yang telah saya ketahui tentang Allah dan diri saya. Peristiwa doa ini terasa seperti pengalaman membaca sebuah novel atau puisi atau bahkan sebuah buku tentang doa dan pemikiran. Semuanya begitu nyata. Selain itu, saya merasa bersemangat untuk kembali berdoa pada hari berikutnya.

Sebaliknya, saya mendapati bahwa ketika saya dikuasai oleh target, saya berbicara pada diri saya sendiri atau melakukan percakapan imajinatif dengan orang lain atau dengan pembaca, dan sulit bagi saya untuk mengingat apa yang baru saja terjadi beberapa detik atau menit sebelumnya. Saya juga tidak fokus, pikiran saya mengembara ke mana-mana, dan ketika saya sadar kembali, saya mendapati diri tidak berbicara dengan Allah atau mendengarkan Dia. Ini seperti yang saya rasakan ketika saya membaca novel yang membosankan, puisi yang buruk atau buku teoretis tentang doa; tidak nyambung dengan hidup saya. Dan saya tidak semangat untuk melanjutkan doa macam itu.

Karena pengalaman-pengalaman yang berbeda seperti itu, saya menyimpulkan bahwa bagian doa yang berakhir dengan tanda kutip berasal dari Allah, sisanya tidak. Berkat pengalaman-pengalaman macam itu saya mempunyai antena yang baik untuk mengetahui kapan doa sungguh nyata dan kapan tidak. Apakah hal ini dapat pahami?

Ketika saya membantu sang pastor muda untuk memutuskan apakah yang telah ia dengar berasal dari Allah, saya memberikan kriteria yang sama. Saya bertanya kepadanya apa yang akan terjadi jika ia meneruskan untuk menikmati pengalaman cinta Allah. Ia menyadari bahwa ia akan fokus pada Allah dan bukan pada diri sendiri atau pada pertanyaan-pertanyaan, dan bahwa ia akan memperoleh apa yang paling ia harapkan secara mendalam, yaitu kedekatan dengan Allah. Keraguan dan pertanyaan menyeretnya lebih jauh dari Allah, bukannya lebih dekat. Dan keraguan serta pertanyaan ini tidak butuh jawaban yang serius. Tujuan mereka satu-satunya adalah membuatnya tetap sibuk dengan diri sendiri dan terus ragu, sebuh tanda jelas yang oleh Ignatius dari Loyola disebut sebagai salah satu cara biasa yang dipakai oleh musuh kondrat manusia dalam melancarkan godaan, yaitu menawarkan pikiran-pikiran yang tampak baik (Latihan Rohani, no 10).

Allah menginginkan persahabatan dengan kita, dan persahabatan ini seperti persahabatan manusiawi, berkembang dari saling percaya dan kejujuran. Allah ingin menyatakan diri secara penuh kepada kita dan menginginkan hal sama dari kita. Kita memperdalam persahabatan kita dengan Allah dengan lebih membuka diri dan lebih jujur kepada-Nya dalam doa. Cita-cita yang diharapkan adalah transparan seluruhnya satu sama lain. Ignatius dari Loyola pada akhir Latihan Rohani mengungkapkan cita-cita ini dalam “Kontemplasi untuk Mendapatkan Cinta”:

Pendahuluan 1. Menimbulkan dalam ingatan anugerah-anugerah yang telah kuterima: penciptaan, penebusan, anugerah-anugerah pribadi. Menimbang-nimbang penuh cinta, betapa besar karya Tuhan buat diriku, betapa banyak dari milik-Nya diberikan padaku; lalu bagaimana Tuhan sampai ingin memberikan dirinya sendiri padaku, sedapat-dapatnya menurut rencana ilahi-Nya. Kemudian melakukan refleksi atas diriku dengan menimbang-nimbang apa yang menurut tuntutan budi dan keadilan harus kupersembahkan dan kuberikan kepada yang Mahaagung: segala milik dan diriku sendiri, seperti seorang yang memberikan persembahan dengan penuh cinta mengucap:

            Ambilah, Tuhan, dan terimalah seluruh kemerdekaanku, ingatanku, pikiranku dan segenap kehendakku, segala kepunyaan dan milikku. Engkaulah yang memberikan, pada-Mulah Tuhan kukembalikan. Semuanya milik-Mu, pergunakan sekehendak-Mu. Berilah aku cinta dan rahmat-Mu, cukup itu bagiku.”

Latihan Rohani, No 234

Doa di atas sangat menyentuh, bukan? Allah ingin berbagi segala sesuatu dengan kita tetapi tidak bisa, karena kita bukan Allah dan karena kita menolak pernyataan diri Allah. Dan Allah ingin kita membagikan seluruh diri kita, menjadi seluruhnya transparan dan berserah. Doa “Ambilah, Tuhan, dan terimalah …” mengungkapkan cita-cita ideal ini. Saya berharap bahwa kita dapat bersama-sama menuju cita-cita ideal sembari saya menulis buku ini dan sembari Anda menjalin persahabatan yang ke dalamnya Allah mengundang Anda untuk masuk.

Renungan Pengantar Doa:

5. Bercerita kepada Tuhan tentang Ketakutanmu

Sulit untuk mengakui, bahkan kepada teman, bahwa kita takut akan sesuatu. Hal ini mungkin lebih benar bagi pria dibanding wanita. Dan kalau hal ini benar bagimu, Bab ini mungkin akan membantu.
Ketika engkau bersama seorang teman dan dicekam oleh ketakutan, adakah hal lain yang ingin engkau bicarakan? Jika engkau tidak membicarakan apa yang paling menyerap pikiranmu – yakni ketakutan itu – engkau mungkin hanya punya sedikit bahan untuk dikatakan. Selain itu, engkau juga tidak akan sungguh menyimak apa yang sedang dikatakan oleh temanmu. Hal ini hanyalah salah satu bentuk lain bahwa kejujuran – atau kekurangjujuran – berpengaruh pada hubungan kita.
Jika engkau mengungkapkan ketakutanmu, ada peluang bahwa temanmu akan mendengarkan dan bersimpati. Saat hal itu terjadi, engkau akan merasakan perubahan besar: sekarang engkau tak merasa sendirian. Engkau lega telah berbicara dengan terus terang tentang ketakutan itu. Sering kali rasanya seperti beban telah diangkat – dan hal ini terjadi ketika kita jujur kepada orang lain tentang ketakutan kita! Inilah pengalaman saya – dan saya telah menyaksikan hal ini terjadi pada orang lain juga – bahwa membuka diri kepada Tuhan tentang ketakutan kita membua kita lega.

Kisah tentang Doa dalam Ketakutan

Engkau tidak pasti jarang membayangkan mendengar seorang raja yang perkasa mengungkapkan ketakutan. Namun dalam Mazmur 55 Raja Daud yang gagah mengungkapkan kepada Tuhan ketakutannya dengan rinci:

Perhatikanlah aku dan jawablah aku!
Aku mengembara dan menangis karena cemas, karena teriakan musuh, karena aniaya orang fasik;
sebab mereka menimpakan kemalangan kepadaku, dan dengan geramnya mereka memusuhi aku.
Hatiku gelisah, kengerian maut telah menimpa aku.
Aku dirundung takut dan gentar, perasaan seram meliputi aku.
Pikirku: "Sekiranya aku diberi sayap seperti merpati, aku akan terbang dan mencari tempat yang tenang,
bahkan aku akan lari jauh-jauh dan bermalam di padang gurun. Aku akan segera mencari tempat perlindungan terhadap angin ribut dan badai.” Mzm 55: 3-9

Daud cukup percaya kepada Tuhan sehingga dapat mengatakan bahwa ia ingin lari dan bersembunyi – dan sungguh akan melakukannya jika dapat. Kemudian ia berbicara lebih rinci tentang sumber beban dan ketakutannya. Ia berkata mampu menanggung cemooh musuh, tetapi yang membuatnya lebih takut sekarang adalah tipu daya seorang teman. Sering kali kita menemukan bahwa menceritakan suatu kebenaran atau sebagian kebenaran mengantar kita untuk lebih lanjut mengungkapkan kebenaran. Dan akhirnya Daud berkata:

"Serahkanlah kuatirmu kepada TUHAN, maka Ia akan memelihara engkau! Tidak untuk selama-lamanya dibiarkan-Nya orang benar itu goyah". Mzm 55: 23.

Sebagai hasil dari mencurahkan ketakutan dan beban, Daud tampaknya memperoleh ketenangan. Jika engkau penuh ketakutan, engkau dapat menjadikan Daud contoh dan menceritakan kepada Tuhan apa yang engkau takutkan dan menyampaikannya dengan rinci. Dengan melakukan itu, engkau mungkin mendapati diri lebih mampu untuk menatap ketakutanmu secara jujur dan lewat proses ini ketakutanmu itu berkurang.
Suatu ketika saya cukup cemas dan bahkan tidak tahu persis apa yang membuat saya cemas, dan saya tidak dapat tidur. Saya mencoba teknik biasa untuk menjadi tenang, namun tidak berhasil. Akhirnya saya terapkan nasihat yang saya berikan kepada orang lain dan mulai menceritakan kepada Tuhan apa yang saya rasakan. Segera menjadi jelas bahwa saya takut kehilangan seorang teman karena salah pengertian. Sementara saya terus bercakap-cakap dengan Tuhan, saya menyadari bahwa saya terlalu melebih-lebihkan situasinya. Kemudian kecemasan saya berkurang dan saya tertidur.

Pasa suatu kesempatan Yesus dan murid-muridnya, beberapa di antara mereka adalah nelayan musiman, berada di sebuah perahu di laut Galilea. Tiba-tiba badai menghantam:

Pada hari itu, waktu hari sudah petang, Yesus berkata kepada mereka: "Marilah kita bertolak ke seberang." Mereka meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak dan membawa Yesus beserta dengan mereka dalam perahu di mana Yesus telah duduk dan perahu-perahu lain juga menyertai Dia. Lalu mengamuklah taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air. Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam. Maka murid-murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: "Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?" Ia pun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: "Diam! Tenanglah!" Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali. Lalu Ia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?" Mereka menjadi sangat takut dan berkata seorang kepada yang lain: "Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?"
 Mrk 4: 35-41

Jika engkau sungguh ketakutan, ingatlah adegan itu. Engkau tidak sendirian. Pandanglah Yesus dan lihat apa yang akan terjadi.

Tanggapan Tuhan


Seorang teman saya bercerita kepada saya tetang perselisihan tajam antara dia dengan atasannya. perselisihan ini membuatnya ketakutan, dan membuatnya merasa kecil setelahnya. Ia mulai menceritakan kepada Yesus apa yang dirasakannya, dan setelah beberapa saat ia melihat sosok Yesus berdiri di belakang atasannya. Yesus mengatakan kepada teman saya bahwa ia dapat belajar sesuatu dari peristiwa ini. Setelah merenungkan perjumpaan dan pengalaman doa ini, ia belajar sesuatu tentang dirinya dan hal ini memberikan penghiburan baginya.

Pada kesempatan lain, pria yang sama dikuasai oleh ketakutan setelah pertemuan yang sangat berat dengan karyawannya. Pertemuan ini mengancam pekerjaan, kehidupan dan bahkan identitasnya. Ia merasa benar-benar sendirian dan tak berdaya. Ia pun mulai berdoa mohon bantuan lagi, dikuasai oleh perasaan gagal total. Saat berdoa, ia merasa bahwa ia merasa di dalam puting beliung. Segala sesuatu yang sangat ia jaga dan hargai dirampas darinya. Hal ini sangat mengerikan hingga akhirnya, dalam kegelapan dan kesendirian, ia merasakan seberkas cahaya dan merasakan berhadapan dengan Tuhan yang hadir, Tuhan yang tidak pernah meninggalkannya ketika segalanya telah musnah.

Kapan pun kita takut, kita dapat berpaling kepada Tuhan dengan penuh kepercayaan, menggambarkan dengan rinci apa yang menganggu kita. Ingatlah kata-kata Yesus, “Aku berkata kepadamu: Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan.” (Luk 11:9-10)

Takut akan Tuhan


Beberapa orang lebih takut pada Tuhan daripada terarik. Bagaimana mereka dapat maju dalam hubungan? Terlalu mudah untuk mengatakan, “Katakan kepada Tuhan bahwa engkau takut.” Engkau dapat berkata kepada seorang teman bahwa engkau takut kepadanya hanya jika engkau mempunyai kepercayaan bahwa ia tidak akan menyerangmu. Selain itu, mengatakan kepada seorang teman yang kamu takuti membuat engkau semakin mudah terluka. Maka, jika engkau takut kepada Tuhan, engkau mungkin perlu beberapa waktu untuk merenungkan suatu atau beberapa peristiwa ketika engkau percaya kepada Tuhan, ketika engkau merasa aman di hadapan Tuhan. Jika engkau dapat mengingat peristiwa macam itu, engkau kemudian dapat berkata kepada Tuhan bahwa engkau berharap masih punya kepercayaan macam itu, masih merasa amam. Dan kemudian engkau mungkin mampu bercerita kepada Tuhan mengapa engkau takut.

Suatu ketika di suatu universitas saya memberikan ceramah tentang  doa sebagai hubungan pribadi. Setelahnya seorang professor berkata, “Saya ingin mempunyai hubungan yang dekat dengan Tuhan, tetapi saya tahu ketika saya semakin dekat, Tuhan akan meminta sesuatu dari saya dan saya takut akan permintaan itu.” Saya menyahut, “Anda dapat mengatakan kepada Tuhan persis seperti yang baru  Anda katakan itu.” Ia berkata, “Dapatkah saya mengatakan hal itu kepada Tuhan?” Saya menjawab: “Ini adalah hubungan; maka Anda dalam mengatakan kepada Tuhan apa saja yang Anda rasakan.”

Engkau dapat berkata kepada Tuhan tentang apa pun yang membuat engkau takut kepada-Nya. Sebab engkau percaya bahwa Tuhan akan gembira karena engkau mengatakan kebenaran. Dalam Injil Markus pemuda kaya yang tidak melepaskan kekayaannya pergi dengan sedih. Tetapai ia sebenarnya dapat berkata kepada Yesus, “Saya tidak dapat melakukan itu. Dapatkan saya tetap pergi bersamamu?” Sungguh menyedihan: ia pergi ketimbang menerima ketakutan kehilangan kekayaannya (bdk. Mrk 10:17-22).

Kapan pun engkau takut kepada Tuhan, ingatlah kata-kata peneguhan dari Yesus: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan." (Mat 11:28-30). Allah telah dekat dengan kita dalam Yesus; tiada yang perlu ditakutkan dari Dia.

 .......dilanjutkan pada Session 3...............

Tidak ada komentar:

Posting Komentar