Session 1: Praying The Truth. Deepening Your Friendship with God through Honest Prayer
Praying The Truth. Deepening Your Friendship with God through Honest Prayer (Chicago: Loyola Press, 2012)
1. Doa sebagai Relasi
Mengapa mengaitkan kejujuran dengan doa? Saya akan menceritakan bagaimana buku ini muncul.
Saya percaya bahwa Allah menginginkan suatu hubungan pribadi, suatu persahabatan yang dewasa, dengan masing-masing dari kita dan bahwa doa adalah cara terbaik untuk membangun relasi persahabatan itu. Yang saya maksud dengan doa adalah apa yang terjadi ketika saya sadar akan kehadiran Allah. Maka doa dapat sama sederhananya dengan memperhatikan seorang anak kecil yang mencoba berkata-kata, melihat sinar matahari yang menerpa pohon berselimutkan salju, bermain-main dengan anjingmu, merasakan angin yang membelai wajahmu, mendengarkan burung yang berkicau, menghirup aroma gurih daging yang digoreng, memandang seseorang yang engkau cintai; semua dapat menjadi doa jika engkau sadar akan kehadiran Allah saat engkau mengalami semua itu.
Doa dapat sesederhana mengucapkan “Tolonglah aku” ketika aku sedang jatuh atau “Betapa membahagiakan” ketika aku bergembira karena seorang teman menelpon menanyakan bagaimana kabarku, sepanjang aku secara sadar memikirkan atau mengucapkan kata-kata itu kepada Allah. Doa dapat terjadi ketika aku berjalan-jalan di hutan, mengagumi keindahan alam dan kemegahan apa yang kulihat, asalkan aku sadar bahwa aku berjalan-jalan bersama Sang Pencipta hutan ini. Doa mencakup wilayah luas yang terhampar di hadapanku. Semuanya merupakan doa asalkan aku menyadari kehadirah Allah dalam setiap aktivitas yang kulakukan.
Ignatius dari Loyola dikenal karena ingin menemukan Allah dalam segala hal – yaitu, dapat melakukan banyak hal sekaligus dan pada saat bersamaan menyadari kehadiran Allah. Dengan kata lain, dia ingin berada dalam keadaan doa sepanjang waktu. Ah, itu cita-cita yang terlalu tinggi, mungkin engkau akan mengatakan demikian. Namun Ignatius percaya bahwa seseorang dapat mencapai hal ini dengan bantuan Allah dan dengan berlatih secara rutin memperhatikan apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dia dapat mengharapkan mengalami hal seperti itu karena yakin bahwa Allah, pencipta alam semesta, tidak pernah absen dari setiap bagian dari alam semesta ini. Karena itu, entah kita sadar atau tidak, kita selalu berada di hadirat Allah apa pun yang kita lakukan.
Doa sebagai hubungan yang disadari adalah jalan utama untuk menemukan Allah dalam segala hal dan untuk memperdalam hubungan dengan Allah. Tentang itulah buku ini berbicara. Kita bertumbuh dalam persahabatan dengan orang lain dengan menjadi semakin jujur atau transparan satu sama lain. Yang saya maksud dengan mengungkapkan kebenaran mencakup kejujuran dan tranparansi, tetapi saya akan menjelaskan nanti apa maksudnya secara konkret bagimu. Sekarang saya ingin menyebutkan beberapa pengalaman akhir-akhir ini yang menginspirasi saya untuk menulis tentang topik ini.
Selama masa Prapaskah 2010 saya memutuskan untuk bertanya kepada Allah setiap hari: “Apa yang Engkau inginkan dalam persahabatan kita?” Begitu saya memulai berfokus pada pertanyaan ini, langsung saja saya merasakan cinta Allah kepada saya. Lalu saya mengalami contoh nyata cinta itu, baik dalam doa maupun hidup sehari-hari saya. Saya menerima pengalaman ini sebagai jawaban Allah. Kemudian doa saya berjalan rutin seperti biasa, yaitu dipenuhi dengan lanturan tentang kekhawatiran atau pekerjaan yang mesti diselesaikan. Ketika saya menyadari hal ini dan berpaling kembali kepada Allah, saya mengatakan seperti ini, “Saya mengalami hal itu lagi.” Allah tampaknya menjawab, “Mengapa engkau tidak menceritakan kepada-Ku tentang lanturan itu.” Ketika saya melakukannya, saya melihat bagaimana gagasan dan kegelisahan itu menguap. Selanjutnya saya menjadi tahu bagaimana cara mendekati, dengan cara lebih positif dan tidak terlalu berpusat pada diri sendiri, apa yang akan saya kerjakan atau orang yang perlu saya beri perhatian. Ketika saya mulai berbicara kepada Allah tentang lanturan, lanturan itu tidak lagi menjadi lanturan; lanturan malah menjadi pembuka dialog dan saya semakin transparan kepada Allah.
Seorang perempuan yang datang kepada saya untuk bimbingan rohani menceritakan kepada saya betapa dia frustasi atas situasi pekerjaannya. Saya bertanya kepadanya apakah dia telah berbicara dengan Allah tentang frustasinya ini. Dia menjawab sudah, tetapi tidak ada gunanya; dia malah semakin frustasi dan marah. Saya bertanya bagaimana Allah menanggapi frustasinya. Perempuan itu menjawab, “Saya tahu Dia pasti mendengarkan dan bahwa Dia akan mendampingi saya.” Saya katakan, “Saya tidak bertanya apa yang engkau pikirkan, tetapi bagaimana Allah menanggapi?” Dia tercenung dan menyadari bahwa dia tidak tahu persis; dia hanya menduga tanggapan Allah. Saya menggarisbawahi lagi bahwa kita tidak berbicara mengenai dugaan perempuan ini tentang tanggapan Allah, tetapi mengenai tanggapan yang sesungguhnya dari Allah. Sejalan dengan berlanjutnya pembicaraan kami, dia menjadi sadar akan perbedaan antaran dialog dengan monolog dan bagaimana dia merasa lebih baik ketika dia mengungkapkan yang sebenarnya kepada seseorang, termasuk kepada Allah. Dan dia merasa didengarkan, juga ketika tidak ada solusi langsung atas kekhawatiran dan keprihatinannya.
Dengan sedikit rasa bersalah seorang pria dalam bimbingan rohani terus-menerus mengungkapkan kekhawatirannya akan kemarahan orang lain atau kemungkinan kemarahan kepadanya. Dia sering menjauh untuk menghidari orang yang mungkin akan marah kepadanya. Doa kadang menjadi waktu untuk merenungkan situasi ini serta orang tersebut dan meminta Allah untuk membantunya mengatasi hal ini. Akhirnya pada suatu hari dia dapat menceritakan kepada Allah apa yang dia rasakan tentang orang-orang dan situasi tersebut dan melihat bagaimana Allah menanggapi. Pada titik inilah pria itu menceritakan kepada saya bahwa dia merasa tenang dengan gambaran peristiwa Yesus dengan Martha dan Maria dan dia dapat menceritakan lebih banyak lagi tentang apa yang sebenarnya ia alami. Ada air mata yang mengalir dari matanya.
Contoh terakhir saya ambil dari sesi bimbingan rohani yang lain pada saat yang sama. Seorang pekerja sosial yang profesional sedang berurusan dengan penyakit yang sangat menyakitkan dalam keluarganya, penyakit yang tampaknya semakin memburuk dari hari ke hari. Sebelumnya dia mampu menanggung hal ini dan merasakan penghiburan dari kehadiran Allah yang menopang dia dan keluarganya. Namun minggu ini dia merasa sangat marah kepada orang yang sakit itu dan marah serta putus asa terhadap situasi ini. Bukannya menceritakan kepada Allah tentang apa yang dia rasakan, dia pergi ke luar dan mencari minuman keras untuk meredakan ketegangan. Kemudian, ketika dia melihat kembali apa yang terjadi, dia menyadari bahwa krisis ini telah membawanya ke titik puncak dalam hidupnya yang perlu diungkapkan kepada Allah, yaitu kemarahan dan keputusaasan. Maka dia memutuskan untuk mengungkapkan sisi lain dirinya ini kepada Allah.
Pengalaman-pengalaman ini memicu beberapa gagasan yang telah menjadi perhatian saya selama bertahun-tahun tentang Mazmur sebagai doa dan tentang bagaimana kita tumbuh dalam persahabatan. Saya telah memikirkan tentang menulis sebuah buku menggunakan Mazmur, atau Mazmur terpilih, sebagai contoh kejujuran dan tranparansi, atau pengungkapan kebenaran, di hadirat Allah. Pemazmur mengatakan serahkan semuanya dalam doa. Mereka sering mengucapkan apa yang tak terucapkan kepada Allah. Sepanjang abad buku Mazmur tetap diyakini sebagai model doa, namun menjadi model doa yang dalam prakteknya jarang diikuti.
Maka saya bermaksud untuk menjalin percakapan denganmu tentang apa yang mungkin berguna bagi hidup doamu, yaitu untuk menjalin hubungan persahabatan dengan Allah, persahabatan yang sangat diinginkan oleh Allah. Untuk bertumbuh dalam persahabatan, engkau dan Allah perlu semakin jujur dan transparan satu sama lain; engkau dan Allah perlu mengungkapkan yang sebenarnya satu sama lain. Dalam proses ini, saya percaya, engkau akan menemukan dirimu pelan-pelan diubah.
2. Doa dan Persahabatan
Marilah kita melihat bagaimana persahabatan bertumbuh. Saya mengundang engkau untuk memikirkan seorang temanmu yang baik dan mengingatnya dalam benakmu selama engkau merenungkan uraian berikut ini.
Kejujuran: Pondasi Persahabatan
Dalam novel That Old Cape Magic karangan Richarch Russo, Jack Griffin dan teman lamanya, Tommy, bertemu kembali di Hollywood setelah Jack bercerai dengan istrinya. Setelah paragraf yang menjelaskan bagaimana mereka saling memperhatikan satu sama lain, masing-masing menghindari kegaduhan atau pertanyaan yang mungkin menganggu yang lain, Russo menulis: “Mereka berhati-hati seolah kehati-hatian dan bukan kejujuran merupakan pondasi dari persahabatan.” Russo benar. Kejujuran adalah pondasi persahabatan. Manakala kita merasa bahwa kita sangat berhati-hati dengan seorang teman, kita tahu bahwa persahabatan berada dalam masalah karena kita menghindari persoalan peka yang membuat sulit untuk jujur satu sama lain.
Persahabatan berkembang lewat kejujuran timbal balik, lewat menceritakan yang sebenarnya atau transparansi. Saya yakin bahwa persahabatan yang Allah inginkan dan tawarkan kepada kita berkembang seperti itu juga. Pada Perjamuan Malam Terakhir dalam Injil Yohanes, Yesus berkata kepada murid-muridnya dan kepada kita:
Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.
Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.
Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu. Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain."
Yohanes 15: 14-17
Lihatlah bahwa Yesus berkata, “Aku telah memanggilmu sahabat, karena aku telah mengatakan kepadamu segala yang telah aku dengar dari Bapa.” Dia telah mengungkapkan kebenaran kepada mereka dan kita. Dia berharap bahwa kita pun menanggapinya kejujuran itu. Apakah ini masuk akal bagimu? Apakah engkau tertarik? Jika ya, silahkan teruskan membaca.
Pemberian Tugas bukanlah hal utama yang menarik bagi Allah
Dalam Pengantar saya menyebutkan tentang kebiasaan saya pada Masa Prapaskah 2010, yaitu bertanya tentang apa yang Allah inginkan dalam relasi persahabatan kami. Suatu hari Allah tampaknya berbicara kepada saya, “Hampir setiap kali engkau bertanya kepadaku tentang apa yang Aku inginkan darimu, engkau mencari sesuatu untuk engkau kerjakan bagi-Ku. Aku tidak ingin engkau melakukan sesuatu bagi-Ku; Aku ingin engkau menjadi sahabat-Ku, supaya Aku dapat menyingkapkan diri-Ku kepadamu dan supaya engkau dapat menyingkapkan dirimu kepada-Ku. Tugas untuk dikerjakan biarlah berjalan dengan sendirinya.” Sebagaimana biasanya dalam situasi penuh lanturan, saya langsung mendapat ide seperti ‘wah ini akan menjadi bahan sebuah buku yang menarik’. Namun Allah terus datang kembali dengan tema yang sama. Pada suatu titik saya diingatkan bahwa saya telah menulis tentang kerapuhan dan keterbatasan Allah; Allah tampaknya berkata, “Ini adalah contoh kerapuhan dan keterbatasan-Ku. Engkau dan banyak orang lain terus berbicara kepada diri kalian sendiri tentang apa yang Kuinginkan, tetapi kalian tidak memberi kesempatan kepadaku untuk menyatakannya kepada kalian. Akibatnya, kalian sering kali salah tangkap.”
Saya mencoba merumuskan apa yang saya alami dalam periode doa itu. Saya tidak mendengar suara mengatakan kalimat yang saya tulis dalam tanda kutip; saya menyajikan gambaran apa yang saya tangkap dari percakapan itu. Setelah saya merenungkannya, tampaknya itu memang benar berasal dari Allah. Saya yakin bahwa saya tidak hanya mengigau.
Pernahkan engkau mengalami hal semacam itu? Mungkin engkau berbicara kepada Allah tentang sesuatu yang penting bagimu, berbicara tentang anakmu yang sakit, dan merasa bahwa engkau sendirian dalam apa yang engkau prihatinkan, bahwa Allah juga menaruh perhatian kepada anakmu dan kepadamu. Itu adalah perasaan yang saya maksud ketika saya mengatakan bahwa Allah menanggapi. Suatu ketika seorang yang saya kenal merasa sangat marah kepada Allah karena dia kehilangan orang tua pada saat ia berusia muda. Dia mengatakan kepada Allah, dalam ungkapan yang keras, bagaimana dia marah tentang hal itu. Saya bertanya apa yang dia rasakan setelah marah-marah dalam doa itu. Dia merasa lebih baik dan merasa telah didengarkan dan diterima. Inilah bentuk pengalaman yang saya maksud ketika saya berbicara tentang mendengarkan tanggapan Allah. Selanjutnya saya akan membahas bagaimana menentukan apakah pengalaman Anda benar-benar dari Allah atau bukan.
Apa itu berdoa?
Marilah kita merenungkan lagi tentang “percakapan” saya. Allah tampaknya sungguh lebih tertarik pada persahabatan yang sejati dibanding pelaksanaan pekerjaan. Dengan kata lain, Allah tidak begitu tertarik memberikan perintah kepada saya untuk melakukan sesuatu dibanding persahabatan kami. Selain itu, saya mengambil kesimpulan dari “percakapan” ini bahwa bagi Allah persahabatan tampaknya tumbuh dari penyingkapan diri timbal balik, mengungkapkan kebenaran tentang diri satu sama lain.
Bagaimana engkau memahami doa? Ambil waktu sebentar untuk merenungkan apa yang engkau lakukan ketika engkau berdoa.
Saya pun sering sekadar mengucapkan doa, seperti “Bapa Kami” dan “Salam Maria”. Saya akan mengucapkan doa tanpa perhatian dan pada akhirnya sulit untuk menyadari apa yang telah saya katakan atau sadar bahwa saya telah berbicara kepada seorang pribadi. Kadang saya mengatakan kepada Allah betapa saya menyesal atas apa yang telah saya lakukan, namun kata-kata itu meluncur begitu saja, tanpa emosi dan perhatian. Lain kali saya mulai mengatakan kepada Allah tentang suatu hal yang menjadi perhatian saya dan kemudian saya mulai memikirkan pemecahan persoalan atau membayangkan dialog dengan orang yang saya perlu saya bantu atau dengan orang yang membuat saya marah. Saya menyadari bahwa sebagian besar “doa” saya sesungguhnya hanya monolog; saya berbicara pada diri saya sendiri dan mereka-reka kemungkinan tanggapan Allah. Apakah gambaran tentang “doa” macam ini sesuai dengan pengalamanmu?
Bagaimana mungkin engkau mengalami Allah “berbicara” kepadamu, jika “Engkau dan banyak orang lain terus berbicara kepada diri kalian sendiri tentang seperti apa Aku. Namun kalian tidak memberikan kesempatan kepada-Ku untuk menyatakan diri kepada kalian.” Allah sama sekali tidak tertarik dalam monolog atau pada penjelasan uraian tugas atau pekerjaan: Allah menginginkan percakapan antarsahabat, percakapan yang di dalamnya ada kesempatan untuk mendengarkan dan berbicara pada dua belah pihak. Maka bagi Allah, doa adalah sebuah dialog, bukan monolog.
Langkah Awal
Bagiamana kita mulai berdiolog dengan Allah? Inilah yang ingin saya lakukan sekarang. Saya mencari tempat di mana saya tidak akan banyak terganggu. Paling sering saya melakukannya di kapel rumah. Namun engkau dapat mencobanya di ruang makan saat engkau minum kopi pada pagi hari, atau ruang tamu jika tidak ada orang lain di sana, atau di gereja atau kapel dekat rumahmu. Engkau juga dapat berjalan-jalan di hutan atau taman.
Setelah saya cukup tenang di tempat itu, saya mengingat bahwa Allah menantikan saya agar mengarahkan hati kepada-Nya, memandang saya, seperti yang ditulis oleh St Ignatius dari Loyola pada Latihan Rohani (No 75). Saya memohon agar Allah membantu saya untuk mengarahkan hati kepada-Nya, menarik saya keluar dari kecenderungan memusatkan perhatian pada diri sendiri. Kemudian saya menyampaikan kepada Allah apa yang saya inginkan; misalnya, pada masa Prapaskah 2010 saya meminta Allah untuk memberitahu saya apa yang Dia inginkan dalam relasi persahabatan kami. Setelah itu, saya mencoba memusatkan perhatian saya kepada Allah – Bapa, Putra dan Roh Kudus – dan membiarkan segalanya tersingkap. Kadang-kadang saya mendapati diri berada dalam dialog seperti yang sudah saya gambarkan sebelumnya, tetapi selalu dalam cara yang seperti itu. Kadang-kadang muncul gagasan-gagasan kepada saya, dan saya tahu apa yang saya alami berbeda dari pengalaman ketika saya berbicara pada diri saya sendiri.
Saya telah sebutkan bahwa saya meminta kepada Allah tentang apa yang saya inginkan selama waktu berdoa ini. Hal ini membantu kita untuk memfoskukan percakapan untuk mengetahui mengapa kita ingin berada bersama dengan pribadi lain. Maka perhatikanlah apa yang engkau inginkan dari Allah setiap kali engkau memulai untuk berdoa. Bayangkan Yesus berkata kepadamu apa yang Dia katakan kepada dua murid Yohanes Pembaptis ketika mereka mendekati-Nya: “Apa yang kalian cari?” (Yoh 1:38). Apa tanggapan spontanmu? Mulailah dengan keinginan itu hingga keinginan lain muncul.
Perhatikan bahwa Yesus menyampaikan kepada mereka pertanyaan pribadi, “Apa yang kalian inginkan?” Mereka dapat menjawab itu hanya jika mereka jujur. Dalam kisah Injil mereka tergagap, “Guru di mana engkau tinggal?” Ini adalah jawaban dangkal, tetapi Yesus mengundang mereka untuk datang dan melihat. Maka mulailah perjalanan persahabatan mereka dengan Yesus. Mungkin engkau ingin mengetahui bahwa Yesus peduli padamu. Maka, katakan langsung saja dan tunggu serta lihat apa yang terjadi.
Doa adalah hal sederhana ketika engkau sudah melakukannya. Doa tidak lain daripada dua orang sahabat yang ngobrol berdua, berbagi pemikiran dan perasaan, meminta dan menerima pengampunan, meminta dan menerima nasihat. Doa adalah apa yang terjadi ketika dua orang sahabat bersama dan saling sadar akan kehadiran pribadi lain. Engkau mungkin telah tahu banyak tentang hal ini. Saran saya boleh jadi hanya meneguhkan engkau untuk percaya akan apa yang telah engkau lakukan dalam doa.
LATIHAN 1:
Bercerita kepada Allah tentang Ketertarikanmu
Langkah pertama menuju persahabatan terjadi ketika aku tertarik kepada seseorang dan berusaha menunjukkan ketertarikan itu entah bagaimana caranya. Ini adalah momen kerapuhan, tetapi ini sangatlah perlu agar persahabatan memperoleh pinjakan. Seseorang yang bernisiatif untuk mulai langkah pertama rapuh, karena ada kemungkinan penolakan, kemungkinan bahwa orang lain itu tidak tertarik menjalin persabatan dengannya.
Kita tahu Allah telah mengambil langkah pertama dalam kerapuhan; Allah menciptakan kita untuk persahabatan, dan kita dapat menolak tawaran itu. Sementara itu, kita mengambil langkah pertama ketika kita mendapati diri tertarik kepada Allah dan mengungkapkan ketertarikan itu. Pernahkah engkau mengatakan kepada Allah bahwa engkau tertarik kepada-Nya, dan bahwa engkau ingin bersahabat dengan-Nya? Apa yang terjadi ketika engkau melakukan hal itu?
Apakah Engkau terarik pada Allah?
Saya percaya bahwa kita semua tertarik pada Allah. Dalam setiap pribadi ada sesuatu yang sering kali muncul, yaitu rasa bahagia dan hasrat akan “sesuatu yang kita tidak tahu itu apa.” Hal ini dapat muncul dalam diri kita pada saat yang tidak biasa, tetapi paling sering terjadi ketika kita melupakan diri kita dan sungguh menaruh perhatian penuh pada sesuatu yang ada di hadapan kita. Saya telah menemukan contoh hasrat seperti itu dalam novel atau cerita detektif, dalam otobiografi – juga dari orang yang tidak peduli akan Allah – dalam puisi, dan dalam percakapan dengan orang kebanyakan.
Suatu kali saya tinggal sendirian di sebuah rumah di tepi pantai. Pada saat makan malam saya terperanjat melihat bulan purnama terbit dari laut. Setelah makan malam saya pergi keluar dan berjalan-jalan sepanjang pantai. Bulan sedemikian terang sehingga sembari berjalan saya dapat melihat bayangan saya. Kemudina saya menyaksikan bagaimana sinar bulan membuat ombak berwarna keperakan dengan tenang menyentuh pantai. Sepanjang perjalan saya melihat garis keperakan datang dan pergi. Saya merasakan bahagia yang mendalam dan sebuah hasrat. Bukan hanya hasrat untuk terus menyaksikan keindahan di depan mata saya, tetapi hasrat akan sesuatu yang lebih lagi. Saya merasa dilingkupi rasa syukur kepada Allah atas peristiwa ini. Belakangan seorang rahib Benediktin dari Inggris, Sebastian Moore, memberi saya kata-kata untuk menggambarkan hasrat yang saya rasakan: “hasrat yang kita tahu itu apa”, hasrat akan Misteri yang kita sebut Allah. Keindahan malam itu telah menyerap saya sehingga sejenak saya lupa akan banyak urusan kecil, dan menyadari betapa saya tertarik kepada Allah yang menciptakan dunia yang indah ini dan memberikan kesempatan kepada saya untuk menyaksikan-Nya sebagai seniman yang hebat.
Saya percaya bahwa hasrat Allahlah yang menciptakan kita dan memelihara kita sehingga tetap ada. Allah selalu mencoba untuk menarik kita agar lebih dekat dalam persahabatan dengan-Nya. Ketika kita terkejut akan sesuatu seperti pada malam bulan purnama itu, kita merasakan hasrat akan Allah dan hasrat terdalam untuk menjawab hasrat Allah. Mungkin engkau ingat akan pengalaman semacam ini dalam hidupmu.
“Jiwaku Haus akan Dikau”
Sejumlah Mazmur mengungkapkan hasrat yang dalam akan Allah. Misalnya: “Seperti rusa yang mendambakan sungai yang berair, jiwaku merindukan Engkau, ya Allah.” (Mzm 42:1).
Mazmur 63 bahkan lebih kuat:
Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku mencari Engkau,
jiwaku haus kepada-Mu;
tubuhkau rindu kepada-Mu
seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair.
Mzm 63:1
Hati pemazmur terbuka di hadapan Allah; ia tidak ragu-ragu mengungkapkan ketertarikannya yang mendalam kepada Allah. Ia tahu rasa haus seseorang yang terjebak di padang gurun dan membandingkan hasratnya akan Allah dengan rasa haus itu. Kemudian dia menggambarkan bagaimana hasratnya akan Allah terpuaskan seperti dalam pesta yang meriah. Hasratnya sedemikian kuat sehingga dia tidak pernah ingin melupakan Allah.
Demikianlah, kita didorong untuk membiarkan Allah tahu bagaimana kita tertarik kepada-Nya, dan kita dapat melakukannya dengan segala cara yang paling sesuai dengan diri kita. Bagi pemazmur, rasa haus di padang gurun tampaknya paling mirip dengan hasratnya akan Allah. Engkau dapat mengungkapkan hasratmu akan Allah dengan kata-katamu sendiri.
Jika kita menyadari bahwa keberadaan kita tergantung pada hasrat Allah pada kita, kesadaran ini akan mempermudah kita untuk membalasnya. Hasrat kita kepada Allah hanyalah bayangan pucat akan hasrat Allah kepada kita.
Sembari engkau mencoba untuk mengungkapkan hasratmu kepada Allah, engkau mungkin akan terbantu oleh doa teman saya, John Carmody, yang ditulis beberapa minggu sebelum kematiannya karena multiple myeloma:
Engkau memberikan kepada kami dua perintah
dan membiarkan mereka menyatu.
Kami mesti mencintaimu dengan sepenuh hati
dan mencintai sesama seperti diri sendiri ...
Aku mencintai-Mu, ya Tuhan, sepanjang hiduku hingga aku dewasa.
Aku mencintai-Mu dengan cara yang buruk, setengah hati, dan tidak murni.
Namun sejak semula aku tahu apa arti nama-Mu bagiku,
sejak semula aku merasa diterima apa adanya,
sejak itulah aku tahu bahwa engkaulah segala yang kubutuhkan atau kuinginkan.
Engkaulah yang mengatur hidupku dan membuatnya bermakna.
Apa balasanku kepada-Mu
Atas segala anugerah kasih yang telah Engkau curahkan kepadaku?
Aku akan senantiasa mengingat Engkau
menaruh harapan akan Dikau,
percaya bahwa engkau senantiasa menjaga aku,
percaya akan kasih yang Engkau curahkan dalam hatiku
sepanjang hari-hari dalam hidupku
dan di surga-Mu yang akan datang.
Sungguh ungkapan yang jujur, menyentuh hati tentang kerinduan akan Allah dari seorang yang sedang sekarat. “Aku mencintai-Mu, ya Tuhan, sepanjang hiduku hingga aku dewasa. Aku mencintai-Mu dengan cara yang buruk, setengah hati, dan tidak murni. Namun ... aku tahu bahwa engkaulah segala yang kubutuhkan atau kuinginkan.” Masing-masing dari kita dapat berkata, bahwa jika saya mencintai Allah, itu saya lakukan dengan buruk, tidak sepenuh hati, dan tidak murni. John Carmody mengungkapkan kepada Allah kebenaran, baik tentang ketertarikannya dan ambivalensinya. Kita pun dapat melakukan yang sama.
Latihan:
Ambillah waktu pribadi ungkapkanlah ketertarikanmu kepada Allah. Ungkapkalah secara bebas dengan cara yang bagimu paling nyaman. Ungkapkan kerinduanmu untuk semakin mengenal Dia, mengalami dia, memberikan diri bagi Dia, mencintai Dia. Ungkapkan juga caramu mencintai yagn “buruk, tidak sepenuh hari, tidak murni, bahkan kadang diwarnai kepentingan pribadi.” Ungkapkan semuanya dengan jujur, terbuka, apa adanya.
Ambil waktu untuk menyadari tanggapan Allah. Allah dengan penuh perhatian mendengarkan curahan hati-Mu. Ia tersenyum bahwa engkau membalas cinta-Nya dan ingin bersahabat dengan-Nya.
Lagu Penutup Doa: Confession (Josh Groban)
Refleksi (dicatat. Waktu 10’)
Apa yang engkau ungkapkan kepada Tuhan? Perasaan apa yang muncul ketika engkau mengungkapkan hal itu? Apakah engkau merasakan tanggapan Tuhan terhadap Engkau? Dorongan apa yang muncul dalam hatimu?
............DILANJUTKAN PADA SESSION 2................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar