(Chicago: Loyola Press, 2012)
by:William A. Barry, SJ,
7
Bercerita
kepada Tuhan tentang Kepicikanmu
Jika engkau tidak pernah merasa iri terhadap orang lain,
engkau beruntung. Kebanyakan orang tidak mengalami demikian. Banyak industri
iklan sepertinya berpegang pada keyakinan bahwa rasa iri ada di mana-mana.
Kepada kita ditampilkan orang yang
berpenampilan lebih menarik, lebih makmur, dan lebih bahagia dari kita untuk
membujuk kita agar membeli produk yang membuat mereka lebih unggul. Iri hati
mengerakkan ekonomi kita. Dan salah satu teori yang berpengaruh tentang
kekerasan berpendapat bahwa kita belajar untuk menginginkan sesuatu dengan
meniru orang lain; karena mereka menginginkan sesuatu, kita pun menginginkannya
dan akan menggunakan segala daya untuk mendapatkannya, termasuk kekerasan. Iri
hati mungkin menjadi sesuatu yang berpengaruh pada dirimu. Maukah engkau
mengakuinya di hadapan Tuhan?
Tidak mudah. Tak seorang pun dari kita suka mengakui bahwa
kita iri terhadap orang lain karena hal itu membuat kita merasa picik dan
egois. “Aku harus bahagia, bukannya iri hati, ketika orang lain, khususnya
teman-temanku bahagia” Teman-teman dekatku akan pikir apa tentang akau jika aku
mengatakan kepadanya bahwa aku iri kepadanya? Kita tidak ingin tampak picik dan
egois di mata orang lain. Namun, jika kita jujur, kita pasti mengakui bahwa
kita sering picik dan iri kepada orang lain. Dapatkah kita mengatakannya kepada
Tuhan?
Mazmur 73
Pemazmur telah melaksanakannya dengan sungguh-sungguh.
Sesungguhnya Allah itu baik bagi mereka yang tulus hatinya,
bagi mereka yang
bersih hatinya.
Tetapi aku, sedikit lagi maka kakiku terpeleset,
nyaris
tergelincir.
Sebab aku cemburu pada pembual-pembual,
kalau aku
melihat kemujuran orang-orang fasik.
Sebab kesakitan tidak ada pada mereka,
sehat dan gemuk
tubuh mereka;
mereka tidak mengalami kesusahan manusia
dan tidak kena
tulah seperti orang lain.
Ayat 1-5
Engkau dapat membayangkan bahwa dia sedang melihat tayangan
televisi tentang tentang orang sukses yang dipuji-puji. Apakah engkau mendapati
dirimu pada baris-baris tersebut mengenali dirimu saat engkau membacanya? Jika
engkau merasa demikian, apakah engkau mulai berdoa seperti yang pemazmur
lakukan? Setelah pembukaan doa itu pemazmur berlanjut dengan mengatakan kepada
Allah bagaimana sombong dan kejam orang-orang itu, namun mereka makmur dan dipuji-puji
banyak orang. Kemudian pemazmur mengatakan:
Sia-sia sama sekali aku mempertahankan hati yang bersih,
dan membasuh
tanganku, tanda tak bersalah.
Namun sepanjang hari aku kena tulah,
dan kena hukuman
sepanjang pagi.
Ayat
13-14
Pernahkan engkau merasakan hal demikian – bahwa engkau telah
melakukan semua hal yang benar tetapi tidak memperoleh apa-apa sebagai
ganjarannya? Pemazmur bersedia menceritakan kepada Allah perasaannya yang
sebenarnya , karena itu ia mengatakan, “Aku melakukan semuanya dengan benar dan
tidak memperoleh apa-apa selain rasa sakit.” Sekarang lihat apa yang terjadi,
apa buah dari kejujuran ini:
Ketika aku hatiku merasa pahit
dan buah pinggangku
menusuk-nusuk rasanya,
aku dungu dan tidak mengerti,
seperti hewan
aku di dekat-Mu.
Tetapi aku tetap di dekat-Mu.
Engkau memegang
tanganku.
Dengan nasihat-Mu Engkau menuntun aku,
dan kemudian
Engkau mengangkat aku ke dalam kemulian.
Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau?
Selain Engkau
tidak ada yang kuingini di bumi.
Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap,
Gunung batuku
dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.
Ay
21-26
Dia tampaknya telah mampu berdamai dengan siatuasi yang
dihadapi karena ia bersedia jujur kepada Tuhan. Dia menyadari bahwa Allah
bersama dengannya, dan itu cukup baginya. Sepertinya iri hatinya lenyap dalam
aliran doa yang jujur ini.
Pergilah dan
Lakukan Demikian
Iri hati hanyalah salah satu dari contoh dari banyak
kepicikan lain yang ada dalam batin kita. Kita juga suka merendahkan orang
lain, mengumpat, memikirkan diri sendiri semata dan merasa diri paling
sengasara. Kita menjadi marah karena pasangan yang sakit atau teman kita sakit
– marah karena pasangan sakit dalam kondisi sekarat dan dengan penuh kesakitan
ingin mati saja atau ketika seorang teman dengan sakit Alzheimer terus
mengajukan pertanyaan yang sama. Ketika kita menjadi sadar akan kepicikan kita
itu, kita membeci diri kita. Tetapi seberapa sering kebencian macam itu membuat
hati berubah? Jarang, sejauh pengalaman saya. Sering kali, ketika saya mengeluh
karena kegagalan saya untuk menjadi orang yang baik, saya justru akan
menyalahkan diri sendiri, dan tidak terjadi perubahan hati. Keadaan batin saya
tetap tertutup. Menyalahkan diri membuat saya berpusat pada diri sendiri.
Bahkan kalau pun sekarang saya menyerang diri saya sendiri, fokus tetap ada
pada diri saya. Jika ini terjadi, roh jahat bersorak-sorai. Tidak ada perubahan
dan fokus tetap pada diri saya, bukan pada Tuhan. Apakah hal semacam ini benar
juga untuk dirimu? Kita dapat belajar banyak dengan meneladan pemazmur.
Dia mengungkapkan kebenaran kepada Tuhan: dia iri kepada
orang fasik karena mereka tampak sejahtera sementara dia tidak. Ketika dia
menuangkan kepicikannya dalam doa, hal positif terjadi; fokus beralih dari diri
sediri kepada Tuhan. Hasilnya, dia merasakan kedamaian dan kita mengandaikan
terjadi perubahan dalam batinnya. Saya telah mendapati bahwa mengungkapkan
kepada Allah tentang perasaan seperti itu dan memohon pertolongan agar kita
dapat meninggalkan perasaan itu, mengubah fokus dari diri saya sendiri kepada
Allah dan, dalam prosesnya, membawa transformasi batin. Dengan rahmat Tuhan
saya menjadi tidak begitu iri hati, tidak begitu picik, tidak begitu
menyalahkan diri.
Lagi dan lagi kita menemukan bahwa mengungkapkan kebenaran
kepada Allah, betapa pun kebenaran itu tidak mengenakkan dan memelukan, menarik
kita dari keterserapan-diri (self-absorption)
dan kepicikan serta mengantar kita bergerak untuk menjadi citra Allah
sebagaimana dicita-citakan Allah saat menciptakan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar